Sabtu, 12 Maret 2011

Kamis, 10 Maret 2011

Aligarh

ALIGARH DI ANAK BENUA INDIA: MENUJU SISTEM PENDIDIKAN ISLAM MODERN


Hamka

A. Pendahuluan

Salah satu masalah yang telah lama dihadapi oleh orang-orang Islam di India di akhir abad 19 adalah ketidakmampuan pendidikan Islam untuk memenuhi tuntutan perkembangan dunia. Keberadaan lembaga-lembaga pendidikan Muslim di negara ini relatif belum berkembang. Lembaga-lembaga ini hanya memusatkan perhatian pada ilmu pengetahuan keislaman yang terbatas dan sebagian besar berhubungan dengan praktek-praktek pelaksanaan ajaran agama yang menghindarkan diri dari ilmu-ilmu modern yang dibutuhkan sesuai dengan tuntutan dunia modern. Di negara ini (India) orang-orang Islam pada umumnya tidak dipersiapkan untuk melakukan pengkajian-­pengkajian ilmu-ilmu dan literatur modern karena dianggap tidak sesuai dengan agama. Di sisi lain, ilmu-ilmu tua dari Timur yang dipelajari oleh kaum Muslimin, dianggapnya sama sekali tidak berguna dan tidak mengandung kepentingan praktis.[1] Selain itu, ada sebagian masyarakat India yang ingin maju dalam bidang perdagangan, pertanian, industri dan kerajinan, yang menurut pendapat Sayyid Ahmad Khan, seorang pemikir India yang sangat penting peranannya dalam Aligarh College, bahwa semua itu tergantung pada pendidikan dari dunia modern.[2]

Sementara itu, sistem pendidikan kolonial tidak bisa memenuhi harapan orang-orang Islam karena dianggap tidak sesuai dengan agama dan hanya merupakan upaya untuk menghentikan mereka agar tidak melaksanakan ajaran agama dan kepercayaan yang telah lama dianut oleh nenek moyang mereka.[3] Sayyid Ahmad Khan memahami sepenuhnya bahwa orang-orang Islam sangat tidak suka kepada sistem pendidikan Barat dan dia mengetahui pula bahwa sikap mereka vang menentang sistem pendidikan pemerintah (kolonial) bukan merupakan "suatu kebetulan", orang-grang Islam menolaknya karena empat alasan :

1) Tradisi politik mereka;

2) Keyakinan agama mereka;

3) Adat-istiadat mereka; dan

4) Kemiskinan sosial.[4]

Diantara alasan-alasan tersebut, agama dipercaya sebagai alasan yang sangat prinsipal. Hal ini karena, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Sayyid Ahmad Khan, orang-orang Islam diwajibkan untuk mengetahui semua ajaran agamanya, mendiskusikannya dan mengatur kehidupan mereka sesuai dengan agamanya. Oleh karena itu, berdasarkan alasan ini dia berpendapat bahwa pendidikan sekuler murni tanpa ajaran agama bagaikan raga (badan) tanpa jiwa (ruh).[5] Disamping itu, dia tidak pernah setuju bila pendidikan bagi orang-orang Islam harus dibimbing dan dikendalikan oleh kekuatan asing. Dia mengatakan bahwa rakyat India tidak bisa mengharapkan adanya karakter dan integritas nasional melalui sekolah-sekolah dan perguruan tinggi milik pemerintah (kolonial Inggris).[6] Dia juga mengatakan bahwa bangsa apapun yang menginginkan untuk meningkatkan pendidikan nasionalnya tidak bisa berharap terlalu banyak untuk mencapai tujuannya sebelum bisa menanganinya sendiri.[7]

Dalam bidang pendidikan, orang-orang Hindu di India memperoleh beberapa keuntungan dari kebijakan pendidikan pemerintah Inggris. Mereka merasa bahwa pendidikan milik pemerintah akan memberikan akses kepada mereka untuk mendapatkan pekerjaan di pemerintahan, dan pada saat itu, mereka meninggalkan orang-orang Islam jauh di belakang baik dalam bidang pendidikan maupun ekonomi. Akibatnya, orang-orang Hindu menjadi favorit (disukai) oleh pemerintah Inggris karena kesediaan mereka untuk mengadopsinya, sementara orang-orang Islam tidak mendapatkan dukungan dari manapun disebabkan oleh propaganda yang bersifat memusuhi penguasa yang berasal dari lingkungan Muslim konservatif.[8]

Selain itu, isu tentang adanya hubungan antara kolonialisme dengan Kristenisasi di negara-negara jajahan telah mendorong reaksi terhadap pendidikan pemerintah kolonial. Pada tahun 1835, misalnya, ketika orang-orang Islam India mulai mengetahui bahwa pemerintah Inggris bermaksud untuk memulai pengajaran bahasa Inggris di semua sekolah, mereka menyampaikan keberatan dengan menyatakan bahwa rencana itu jelas-Jelas bertujuan untuk mengubah keyakinan mereka dan mengajak rakyat untuk menjadi Kristen.[9] Meskipun pemerintah sesudah itu mengumumkan kebijakan tentang adanya netralitas agama yang sangat ketat, ropaganda para misionaris Kristen telah menakutkan orang Islam. Mereka bahkan menginterpretasikan jaminan netralitas agama yang tulus dari pemerintah sebagai alat licin untuk merampas mereka dari keimanannya.[10]

Kondisi-kondisi pendidikan Muslim tersebut diatas mendorong semangat Sayyid Ahmad Khan di India untuk berjuang membangun lembaga pendidikan bagi generasi mendatang.

Makalah ini berusaha untuk rnengkaji lembaga pendidikan Aligarh yang dirikan oleh Sayyid Ahmad Khan, bukan mengenal Sayyid Ahmad Khan itu sendiri.

B. Reformasi Pendidikan Muslim

Reformasi pendidikan muslim yang dilakukan oleh Gerakan Aligarh (Aligarh movement) merupakan upaya untuk mengatasi kondisi pendidikan muslim yang anggap tidak berkembang. Gerakan ini bertujuan, sebagaimana dikatakan oleh Sayyid Ahmad Khan, untuk memberikan sistem pendidikan clan pengajaran bagi para muslim yang sesuai dengan kebutuhan jamannya. Bila rakyat tidak dididik sesuai dengan tuntutan jaman, mereka akan menjadi miskin, bodoh dan tidak berkemampuan apa-apa, dan akhirnya akan tersingkir dalam derasnya arus kemajuan.[11] Gerakan ini berusaha untuk mereformasi pendidikan Islam dengan cara memperkenalkan nilai-nilai baru dan suatu sistem yang sesuai dengan tuntutan masa depan tanpa mengabaikan prinsip-prinsip ajaran Islam. Reformasi tersebut meliputi dua aspek penting, yaitu aspek ideal dan aspek teknis.

The Aligarh College bertujuan untuk:

1. memberi pendidikan yang bebas (liberal) kepada orang-orang Islam;

2. menghilangkan tradisi masa lampau yang menyesatkan dan menghambat kemajuan orang Islam;

3. menghilangkan beberapa prasangka yang sampai sekarang ini berjalan dan berpengaruh buruk terhadap bangsa Muslim;

4. mendamaikan pengajaran Timur dengan literatur dan ilmu pengetahuan Barat;

5. memberi inspirasi ke dalam pemikiran-pemikiran orang Timur mengenai energi (kekuatan) yang dimiliki oleh orang-orang Barat;

6. membuat orang-orang Islam India agar menjadi berharga dan berguna bagi Penguasa (raja) Inggris;

7. memberi inspirasi kepada mereka bahwa kesetiaan yang muncul tidak berasal dari penyerahan dengan sikap merendahkan diri kepada aturan-aturan negara lain, tetapi berasal dari penghargaan murni berkat pemerintah yang baik.

Inilah tujuan-tujuan yang disampaikan oleh para pendiri Aligarh College dalam kebijakan-kebijakannya.[12]

Tujuan-tujuan tersebut didasarkan atas Islam yang mengajarkan bukan saja ajaran agama (dalam arti sempit, misalnya shalat, puasa, zakat atau haji saja) pada pemeluknya, tetapi juga semua aspek yang berkaitan dengan kehidupan di dunia ini. Dari sudut pandang ini, ilmu (science) seharusnya tidak dipahami sebagai pembagian yang kaku antara ilmu agama dengan ilmu umum (sekuler), seperti yang lakukan orang-orang pada umumnya, tetapi lebih dari itu. Sayyid Hossein Nasr mengatakan bahwa untuk memahami ilmu keislaman dalam esensinya, memerlukan pemahaman terhadap beberapa ajaran Islam itu sendiri.[13] Prinsip-prinsip ini berdasarkan atas universalitas ajaran Islam, yang menekankan keseimbangan antara kehidupan dinia dan akhirat.

Untuk tujuan ini, disamping memformulasikan cita-cita tujuan pendidikannya, gerakan Aligarh juga mengadakan reformasi pendidikan yang bersifat teknis dengan cara memperkenalkan beberapa perubahan dalam metode-metode belajar, organisasi pendidikan, dan rasionalisasi mata pelajaran dan kurikulum.[14]

Banyak diantara reformasi teknis pendidikan yang diambil dari sistem pendidikan modern. Sayyid Ahmad Khan mengatakan bahwa Perguruan Tinggi Aligarh (Aligarh College) ini mengikuti model universitas Oxford dan Cambrige dan semua mahasiswanya harus tinggal di asrama. Shalat diwajikan baik bagi mahasiswa Syi'ah maupun Sunni. Kehadiran mahasiswa pada waktu shalat sangat penting dan kehadirannya secara teratur harus terus dipelihara. Kehidupan sekolah berkisar seputar aktivitas-aktivitas para siswa setempat.[15] Kepala sekolahnya adalah Provost (Pembantu Rektor) dan bertugas mengawasi beberapa asrama melalui Proctors (Pengawas mahasiswa) dan Sub-proctors (pembantu pengawas mahasiswa). Disiplinnya sangat ketat tetapi bersifat paternal. Karena itu, jarang terjadi pelanggaran disiplin dan hukumannya sebagian besar bersifat psikologis dan korektif. Setiap asrama didorong agar merencanakan dan menentukan programnya sendiri berupa permainan-permainan, perkemahan, kunjungan sosial dan piknik. permainan berupa drama dipentaskan di atas panggung sekali setiap tahunnya dan pada umumnya melukiskan problem-problem politik dan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Pelajaran agama menjadi bagian yang integral dengan progra-pr­ogram itu. Terlepas dari kelas-kelas reguler, juga terdapat seminar-seminar dan ceramah-ceramah. Setiap asrama menilliki masjid dan kehadiran saat shalat merupakan kewajiban.[16]

Salah satu diantara gambaran-gambaran yang menonjol dari Aligarh College yang membuat berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lain di India adalah bahwa sebagian besar mahasiswanya harus tinggal di daerah sekitar kampus (college) tersebut yang jauh dari lingkungan keluarga. Dengan cara ini diharapkan pembentukan watak dan semangat keagamaan para mahasiswanya akan lebih efektif dan berhasil.

Metode pengajaran yang digunakan oleh Aligarh adalah sistem klasikal (kelas), pelajaran-pelajaran diberikan dalam kelas. Guru memberikan pelajaran kepada sekelompok siswa yang usia dan pengetahuannya hampir sama (merata). Guru juga harus memantau kemajuan para siswanya dengan cara memberikan ujian formal secara teratur kepada mereka, dan juga nilai-nilai individual. Dengan demikian, para siswa bisa naik dari satu tingkat ke tingkat yang lebih tinggi sampai mereka menyelesaikan pendidikannva, dan setelah itu, mereka mendapatkan ijazah (sertifikat). Sekolah itu bahkan memberikan beasiswa bagi para siswa yang memiliki prestasi baik selama sekolah atau ketika ujian mereka telah selesai.[17]

Lembaga pendidikan Aligarh diorganisasikan sebagai lembaga independent bukan sebagai bagian dari rumah tangga kepala sekolah dan bukan pula sebagai salah satu fungsi dari masjid di tempat itu. Sayyid Ahmad Khan, selain memulai penerbitan Tahzib al-Akhlag juga rnernbentuk the Committee Khwastagar Taragi e-Musalaman-e-Hindustan (Komite bagi Difusi dan Kemajuan Belajar yang Lebih Baik di Antara Muslim India), di Benares jauh sebelurn Aligarh didirikan. Komite itu sendiri dimaksudkan untuk menyelediki sebab-sebab yang menghambat hingga masyarakat Muslim tidak memanfaatkan sistem pendidikan yang didirikan oleh pemerintah, dan memberikan jalan (alat) agar pendidikan modern bisa disebarluaskan di tengah-tengah mereka.[18] Komite tersebut, setelah mempelajari sebab-sebabnya, memutuskan bahwa yang harus dilakukan adalah mempertimbangkan alat yang sesuai untuk mengatasi kesulitan mereka pada saat itu, juga memikirkan cara-cara yang mungkin benar-benar berguna bagi para Muslim di masa depan. Oleh karena itu, diputuskan untuk mendirikan lembaga pendidikan bagi generasi mendatang. Disetujui pula bahwa buku-buku tentang Islam sudah tua dan karakter (kwalitas) nya sudah tak sesuai dengan usia para siswa, karena semuanya telah gagal dalam memberikan kebebasan berfikir dan mengandung banyak kesalahan, karena itu perlu diganti dengan yang baru. Semangat buku itu sudah tidak sesuai lagi dengan jaman baru dan Komite merasa yakin bahwa melalui buku-buku itu masyarakat Muslim tidak akan pernah bisa mendapatkan pengetahuan dari pelajaran-pelajaran baru, dan tanpa pengetahuan, mereka akan tetap terbelakang. Dengan adanya ide-ide ini mereka membentuk Komite yang lain yang disebut sebagai Majlis e-Khazan ul-Bazaat ul-Tasees Madrassat ul-Uloom ul-Muslimeen (Komite Dana Perguruan Tinggi Inggris Timur untuk Muslimin). Komite tersebut harus mengumpulkan dana untuk pendirian Perguruan Tinggi Muslim.[19]

Dengan demikian, jelas bahwa organisasi Aligarh College telah diresmikan sebelum pendiriannya yang sebenarnya. Dari komite inilah kebijakan pendidikan ditentukan. Aligarh percaya bahwa pendidikan muslim bisa maju hanya kalau kaum muslimin sendiri mengelola lembaga pendidikannya secara efisien.[20]

Ide reformasi pendidikan muslim juga meliputi rasionalisasi kurikulum. Perihal kurikulum Aligarh, Sayyid Ahmad Khan mengatakan bahwa kurikulum itu hendaknya cukup fleksibel untuk mencapai berbagai macam tujuan yang luas. Intinya dalah menarik sebanyak mungkin orang yang memiliki jenis pendidikan apapun yang disukainya dan bisa melanjutkannya.[21]

Lebih jauh dia mengusulkan bahwa kurikulum Aligarh, sebagaimana dia sampaikan pada tahun 1872, terdiri dari pendidikan umum dari usia 13 sampai 18 tahun, diikuti o1eh ilmu-ilmu khusus, yang menurut dugaan beranalogi dengan tripos di Oxford dan Cambridge. Pada tingkat persiapan harus ada empat bidang studi—agama, sastra, matematika, dan dinu pengetahuan alam. Ilmu pengetahuan alam akan berhubungan dengan fisika dasar, matematika dengan aljabar dan geometri. Sastra meliputl hal yang termasuk bahasa, komposisi, sejarah, geografi, logika, politik, dan berbagal topik yang termasuk dalam filsafat. Pelajaran agama meliputi kehidupan Nabi Muhammad Saw (Hadits), Tafsir al-Qur'an, hukum (syari'ah), dan prinsip-prinsip umum.[22] Pelajaran-pelajaran ini bisa dilanjutkan baik dalam bahasa Inggris maupun Urdu. Mahasiswa yang berharap bisa mendapatkan jabatan-jabatan pemerintahan yang tinggi akan belajar bahasa Inggris.

Pada saat yang sama jurusan bahasa Inggris bisa mendidik (melatih) orang agar bisa menyampaikan pelajaran modern kepada masyarakat India secara lebih luas. Selain bahasa Inggris, para mahasiswa ini harus pula mempelajari bahasa Latin dan Arab, Persia, atau Urdu. Perguruan tinggi (Aligarh) tersebut harus menjadi lembaga yang sedemikian rupa sehingga akan sesuai bukan saja dengan kebutuhan masyarakat muslim masa kini tetapi juga di masa depan. Komite bagi kemajuan belajar yang lebih baik (The Committee for Better Advancement of Learning) diharapkan untuk memperkenalkan sistem pendidikan bagi generasi mendatang.

Berdasarkan uraian mengenai kurikulum di atas, pada tahun 1875, the Muhammadan Anglo-Oriental College dimulai sebagai sebuah sekolah. Tahun 1875, dengan alasan yang sama, kuliah-kuliah perguruan tinggi dimulai, sehingga mahasiswa yang telah lulus ujian masuk dari College itu bisa melanjutkan studinya. Pada tahun 1881, untuk alasan yang sama, dibuka jenjang Sarjana Muda (BA). Pada tahun yang sama sebuah kelas khusus, yang dikenal dengan nama the Civil Service Prepasatory Class (Kelas Persiapan Pelayanan Masyarakat), juga dibuka dengan tujuan untuk membantu pemuda muslim agar mampu mempersiapkan dirinya sendiri khususnya dalam menghadapi Competitive Indian Civil Service Examination (Ujian Saringan Pelayanan Masyarakat India). Pada tahun 1887, satu jurusan dibuka yang bertujuan untuk mempersiapkan mahasiswa memasuki perguruan tinggi teknik di Rookee. Dalam tahun itu juga dibuka program MA dan L L. B.[23]

Meskipun Aligarh College didirikan terutama untuk para Muslim, perguruan nggi ini juga menerima mahasiswa yang beragama Hindu. Pada tahun pertama keseluruhan mahasiswanya adalah Muslim, namun setelah itu, selalu ada mahasiswa beragama Hindu yang jumlahnya cukup banyak.[24] Keterbukaan untuk menerima mahasiswa non-Muslim untuk belajar di Aligarh merupakan salah satu policy (kebijakan) yang bertujuan untuk menciptakan prinsip-prinsip ikatan ukhuwah (persaudaraan) antara orang-orang Islam dan Hindu. Dalam hal ini Sayyid Ahmad Khan menjelaskan bahwa sekolah itu bersifat non-sektarian baik dari segi mahasiswanya maupun anggota beberapa bagian administrasi kecuali bahwa sensitivitas Hindu mengenai kasta tetap dihargai, dan pendidikan agama diberikan secara terpisah antara mahasiswa Hindu dan Muslim.[25]

Selain pertimbangan semacam ini, penekanan terhadap pentingnya bahasa Inggris di Aligarh College barangkali menjadi alasan lain mengapa mahasiswa non-Muslim belajar diperguruan tinggi ini. Ada beberapa alasan pragmatis mengenai penggunaan bahasa Inggris yang ditawarkan oleh Sayyid Ahmad Khan. Dia mengingatkan bahwa orang-orang India tidak bisa berharap untuk memperoleh pekerjaan-pekerjaan di Pemerintahan (sebagal pegawai negara) tanpa memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam bahasa Inggris; partisipasi dalam perdagangan, modern dan perdagangan internasional tidak mungkin dilakukan tanpa menggunakan bahasa Inggris, begitu pula perkembangan politik dan hubungan internasional negara-negara lain tetap tidak diketahui, dan akhirnya, orang-orang India tidak bisa secara efektif mengikuti proses politik India meskipun pemerintah Inggris menawarkan bagian yang menguntungkan kepada mereka.[26]

Dengan melihat respon-respon dari masyarakat dan pemerintah, walaupun masih ada beberapa reaksi dari beberapa kelompok masyarakat, sekolah-sekolah
Aligarh bisa diterima dengan baik. Reaksi-reaksi tersebut secara bertahap berkurang dan berubah menjadi respon yang positf karena masyarakat menyadari perlunya jenis pendidikan semacam ini. Aligarh telah memenuhi kebutuhan mereka dengan menawarkan model pendidikan yang sesuai dengan tuntutan perkembangan modern
.[27]

C. Kesimpulan

Reformasi pendidikan Muslim yang dilaksanakan oleh Aligarh sebenarnya merupakan respons yang tepat terhadap kondisi-kondisi sosial-keagamaan Muslim di India. Aligarh memusatkan perhatian pada pendidikan menengah atas pada satu lembaga pendidikan, dan tidak menyebarluaskan institusi semacam ini ke bagian­-bagian lain di India.

Lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan oleh Aligarh mengadopsi elemen-elemen sistem pendidikan Barat yang baru dan, di sisi lain menjaga Islam sebagai dasar pendidikan mereka. Oleh karena itu, dalam beberapa aspek, lembaga-­lembaga tersebut sangat berbeda dengan pendidikan Muslim tradisional dan sekolah-­sekolah pemerintah kolonial.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Barkat, "The Origin of Moslem Renaissance in India," The Hindustand Review," July (1907)

A History of the Movement, Vol. 111, 1906-1936, part 11 Karachi: Pakistan Historical Society, 1963

Jain, M.S., The Aligarh Movement : His Origin and Development 1856 - 1906, Agra: Sri Ram Mehra & Co., 1965

Jainuri, Ahmad, "The Reformation of Muslim Education: A Study of the Aligarh and the Muhammadiyah Educational System", a Term Paper, (tak dipublikasikan), Montreal, Canada, 1991

Lelyveld, David, Aligarh’s First Generation: Muslim, Solidarity in British India. Princenton, NJ: Princeton University Press, 1978

Malik, Hafeez, Sir Sayyid Ahmad Khan and Muslim Modernism India and Pakistan, New York: Colombia University Press, 1980

Mohsin-ul-Mulk, Nawab (ed.), Addresses and Speeches Relating to the Muhammadan Anqlo­Oriental College in Aligarh from its Foundation in 1875 to 1898. Aligarh, Desember 1998

Muhammad, Shan, Sir Syed Ahmad Khan A Political Biography, Meerut: Meenakshi Prakashan, 1969

Muhammad, Shan (ed), The AligarhMovemeni: Basic Documents : 1864-1898. Meerut, New Delhi: Meenakshi Prakashan, 1978

Nasr, Sayyed Hossein, Science and Civilizationin in Islam. Cambridge, Mss; Harvard University Press, 1968



[1] M.S. Jain, The Aligarh Movement : His Origin and Development 1856 - 1906, (Agra : Sri Ram Mehra & Co., 1965), h. 30 sebagaimana dikutip oleh Ahmad Jainuri dalam "The Reformation of Muslim Education: A Study of the Aligarh and the Muhammadiyah Educational System", a Term Paper, (tak dipublikasikan), Montreal, Canada, 1991, h. 2

[2] Ibid., h. 28

[3] Barkat Ali, "The Origin of Moslem Renaissance in India," The Hindustand Review," July (1907), h. 39.

[4] Jain, op. cit., h. 29

[5] Ibid.

[6] Lihat Shan Muhammad, Sir Syed Ahmad Khan A Political Biography, (Meerut: Meenakshi Prakashan, 1969), h. 63.

[7] Kuliah Sir Syed Ahmad Khan di Gurdaspur, Punjab, tanggal 27 Januari 1884, Ibid, sebagaimana dikutip Achmad Jainuri, op. cit., h. 4.

[8] Shan Muhammad, op. cit., h. 55.

[9] Kuliah Syed Mahmud yang disampaikan dalam The Muhammad Educational Conference pada tanggal 28 Desember 1893 di Aligarh, ibid, h. 54.

[10] Ibid.

[11] MS. Jain, op. cit., h. 36

[12]Lihat Nawab Mohsin-ul-Mulk (ed.), Addresses and Speeches Relating to the Muhammadan Anqlo-­Oriental College in Aligarh from its Foundation in 1875 to 1898 (Aligarh, Desember 1998), h. 31-32.

[13]Sayyed Hossein Nasr, Science and Civilizationin in Islam. (Cambridge, Mss; Harvard University Press, 1968), h. 22.

[14]Shan Muhammad, op. cit., h. 68

[15] Ahmad Jainuri, op. cit., h. 10

[16] A History of the Movement, Vol. 111, 1906-1936, part 11 (Karachi: Pakistan Historical Society, 1963), h. 418-419

[17] Informasi lebih lengkap mengenai the Aligarh Scholarship (beasiswa Aligarh) bisa dilihat di Shan Muhammad (ed), The AligarhMovemeni: Basic Documents : 1864-1898 (Meerut, New Delhi : Meenakshi Prakashan, 1978), h. 450-455.

[18] Hasil-hasil investigasi Komite tersebut sebagaimana disebutkan dalam "Translation of the Report of the Members of the Select Committee" Muhammad (ed), the Aligarh Movement, h. 337-380.

[19] Lihat Shan Muhammad, “Sir Syed Ahmad…”, op. cit., h. 65, untuk uraian secara rinci mengenai Undang-undang dan Peraturan Komite, lihat "Rules for the Guidance and Management of the College Fund Committe (1872 M atau 1289 H)", Muhammad (ed), The Aligarh Movement, h. 381-386

[20] Ahmad Jainuri, op. cit., h. 14

[21] David Lelyveld, Aligarh’s First Generation: Muslim, Solidarity in British India (Princenton, NJ: Princeton University Press, 1978), h. 128.

[22] Shan Muhammad, “The Aligarh…”, op. cit., h. 370-371

[23] Ibid., h. 482

[24] Lelyveld, op. cit., h. 125.

[25] Ibid., h. 170

[26] Hafeez Malik, Sir Sayyid Ahmad Khan and Muslim Modernism India and Pakistan, (New York: Colombia University Press, 1980), h. 189.

[27] Achmad Jainuri, op. cit., h. 20

Pendidikan dan Perubahan Sosial

PENDIDIKAN DAN PERUBAHAN SOSIAL: KE ARAH REKONSTRUKSI KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM

Hamka

A. Pendahuluan

Pendidikan merupakan sub-sistem dalam keseluruhan sistem budaya. Pendidikan dan kebudayaan merupakan refleksi kehidupan intelektual dan kultural suatu bangsa dalam perjalanan misi sejarah yang disandangnya.[1] Dari sekian permasalahan yang dihadapi oleh dunia Islam saat ini, menurut Khurshid Ahmad masalah pendidikan merupakan masalah yang paling menantang, di mana masa depan umat Islam sangat ditentukan oleh kemampuan mereka menjawab tantangan ini.[2]

Pendidikan Islam dalam era perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini, semakin dipertanyakan relevansinya, terutama jika dikaitkan dengan kontribusinya bagi pembentukan budaya modern yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam konteks ini pendidikan mengalami degradasi fungsional, karena pendidikan semakin berorientasi materialistik. Tak dapat dipungkiri lagi bahwa akurasi suatu lembaga pendidikan cenderung dinilai dari sejauh mana out-put-nya dapat berpartisipasi aktif dalam mengisi lapangan kerja yang disediakan oleh dunia industri. Lembaga pendidikan diperlakukan sebagai asset sosial yang memiliki fungsi khusus dalam menyiapkan tenaga kerja yang akan memenuhi tuntutan dunia (lapangan) kerja yang bercorak industrialistis.[3]

Dalam konteks makro, hampir semua sistem pendidikan yang ada di dunia ini selalu kalah berpacu dengan perubahan sosial. Hal ini, antara lain, disebabkan oleh kemajuan teknologi informasi.[4] George Gerbner menyatakan, media massa telah turut memberi andil dalam memoles kenyataan sosial, bahkan media telah menjadi “agama resmi” masyarakat industri. Media massa telah ikut mempengaruhi perubahan bentuk masyarakat. Menurut Godan Hedebro, media massa adalah pembentuk kesadaran sosial yang pada akhirnya menentukan persepsi orang terhadap dunia dan masyarakat tempat di mana mereka hidup.[5] Pertanyaan yang muncul kemudian adalah dimanakah fungsi lembaga pendidikan? Masihkah ia dapat diklaim sebagai agent of social change? Kalau pun kita masih mengakui adanya fungsi tersebut, paling tidak kita pun harus menyadari bahwa ia bukan satu-satunya, bahkan mungkin tingkat efektivitasnya sebagai agent of social change jauh berada di bawah (efektivitas) media massa.

Atas dasar pemikiran di atas, makalah ini hendak mengkaji bagaimana seharusnya pendidikan Islam menyikapi arus perubahan sosial, agar tetap eksis dan dapat mengemban tugas dalam memberi warna bagi kehidupan sosial masyarakat modern dengan nuansa keislaman. Kajian ini akan difokuskan pada upaya rekonstruksi kurikulum pendidikan Islam, namun sebelumnya akan diungkap terlebih dahulu sejumlah dilema yang dihadapi oleh dunia pendidikan Islam dewasa ini.

B. Dilema Sistem Pendidikan Islam

Menurut Suyata, akar permasalahan kegagalan pendidikan antara lain adalah: inersia sistem pendidikan terhadap perubahan lingkungan sosial, ekonomi, budaya, kemajuan ilmu dan teknologi, tata nilai dan tuntutan yang menyertainya. Hal ini, lanjut beliau, terlihat pada ketidakmampuan lembaga pendidikan menyesuaikan kehidupan internalnya maupun hubungannya dengan dunia luar.[6] Kelemahan sistem pendidikan umumnya, dan pendidikan Islam khususnya, adalah kesenjangan antara lembaga pendidikan dengan realitas sosial masyarakat. Lembaga pendidikan terlalu bersifat formalistis, lebih mementingkan transmisi pengetahuan dan kurang memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat, sehingga seakan-akan di antara keduanya tidak ada keterkaitan. Lembaga pendidikan hidup dalam dunianya sendiri di balik “pagar” kurikulum yang kaku. Hal inilah yang disinyalir oleh Torsten Husen, bahwa :

Suatu penyakit profesional yang menjangkiti para pendidik di seluruh dunia, baik yang terjangkau oleh riset maupun yang tidak, adalah kebutaan terhadap kenyataan bahwa sekolah adalah dan haruslah merupakan bagian integral dari masyarakat sekitarnya, dan sama sekali tidak boleh bergerak di dalam kehampaan kehidupan sosial.[7]

Lebih lanjut beliau menegaskan bahwa lembaga pendidikan dalam era modern dihadapkan pada dua alternatif : pertama ; isolasi yang akan membawa dampak kehancuran, atau kedua ; perubahan secara gradual dan adaptif terhadap kondisi sosial masyarakat.[8]

Dalam kaitannya dengan pendidikan Islam, kita patut mempertimbangkan pandangan Azyumardi Azra tentang arah rekonstruksi pemikiran dan praktek pendidikan Islam. Salah satu di antaranya, menurut beliau, adalah: pengembangan sikap penerimaan kultural yang sadar terhadap perubahan; dunia ini berubah, lingkungan berubah dan kita harus melakukan adaptasi terhadap perubahan tersebut kalau kita ingin survive. Sikap yang demikian, lanjut beliau, hasil akhirnya akan menciptakan sistem pendidikan yang berorientasi ke masa depan (future oriented) dan bukan sekedar berorientasi ke masa silam (past oriented).[9] Pandangan yang lebih tegas lagi dikemukakan oleh Chobib Thoha bahwa: falsafah pendidikan Islam lebih tepat jika menggunakan falsafah progresivisme, artinya pendidikan mendahului gerak perubahan sosial.[10]

Namun demikian, untuk menciptakan sistem pendidikan yang mampu mengikuti arus perkembangan sosial, apalagi untuk mendahuluinya, tentu saja tidak mudah, khususnya bagi lembaga pendidikan Islam yang selama ini cenderung menggunakan pendekatan doktriner-literal-formal. Jika terjadi perubahan sosial yang berdampak pada perubahan tata nilai kultural, maka bukan agama yang harus mengikuti alur perubahan sosial, tetapi sebaliknya perubahan sosiallah yang mesti mengikuti patokan agama. Dalam konteks ini maka pendidikan Islam cenderung bersifat “defensif” dan tidak “agresif”, terutama pada aspek metodologi yang digunakan dalam menghadapi tantangan zaman yang selalu berubah.[11]

Dilema yang dihadapi oleh lembaga pendidikan Islam, antara keinginan untuk tetap berpegang teguh pada dogma agama di satu sisi dan penyesuaian diri terhadap perubahan zaman, di sisi lain sebenarnya tidak perlu terjadi seandainya aspek “normativitas” dan “historisitas” keagamaan dapat dibedakan secara jernih dan tegas batas-batas di antara keduanya.[12] Apa yang terjadi dalam dunia Islam, khususnya sepanjang abad ke-12 hingga abad ke-19, menurut Arkoun, adalah taqdis al-afkar al-Diniy[13] atau pensakralan pemikiran keagamaan, sebagai akibatnya, terjadi pencampuran dan tumpang tindih antara dimensi historisitas dan normativitas keagamaan. Hasil pemikiran para ulama klasik (sebagai interpretasi dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah) yang pada dasarnya tidak terlepas dari kondisi sosio-kultural pada masanya, telah disakralkan, dianggap telah baku dan tidak boleh diganggu-gugat lagi, sesuatu yang pada dasarnya bersifat historis berubah menjadi normatif.

Dalam kaitannya dengan pendidikan Islam, Al-Qur’an dan Hadis merupakan landasan utama yang bersifat normatif, salih li kulli zaman wa makan. Tetapi bagaimana pelaksanaan pendidikan itu sendiri, sistem kelembagaannya, metodologi, kurikulum dan sebagainya, tentulah merupakan hal-hal yang senantiasa perlu dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman. Pada sisi inilah pendidikan Islam senantiasa terbuka untuk diperbincangkan, termasuk dalam hal ini melakukan perbandingan dengan teori-teori pendidikan modern, bahkan mengadopsi teori-teori yang dianggap positif dan tentu saja dengan cara yang kritis.

C. Rekonstruksi Kurikulum Pendidikan Islam

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa kata kunci dalam upaya rekonstruksi sistem pendidikan Islam adalah “keselarasan”. Artinya, lembaga pendidikan Islam harus mampu mengadaptasikan diri dengan arus perubahan sosial, dan bukannya hidup dalam “menara gading”, terisolir dari persoalan-persoalan yang tengah dihadapai oleh masyarakat sekitarnya. Namun, ini tidak berarti bahwa pendidikan Islam harus larut dengan pasrah mengikuti arus akselerasi perubahan sosial. Proses adaptasi haruslah dilakukan secara kritis dengan tetap berpijak pada prinsip dasar keislaman.

Sehubungan dengan hal tersebut, dalam kurikulum pendidikan Islam ada tiga hal penting yang akan dicermati di sini, yaitu tujuan pendidikan, materi dan metode.

1. Tujuan Pendidikan

a. Tujuan Pendidikan dan Perubahan Sosial

Dalam dunia pendidikan dikenal adanya stratifikasi tujuan, mulai dari yang bersifat abstrak, ideal dan umum, sampai kepada yang kongkrit, praktis dan khusus. Istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan stratifikasi tujuan pendidikan berdasarkan ruang lingkupnya adalah: aim, goal dan objective. Aim memiliki pengertian yang lebih luas, umum, dan menggambarkan target ideal yang hendak dicapai. Sedangkan goal adalah penjabaran dari aim dalam bentuk yang lebih terperinci dan merupakan tujuan instrumental untuk mencapai target ideal. Dan objective adalah penjabaran lebih lanjut dari goal ke dalam bentuk yang lebih spesifik dan kongkrit, objective merupakan tujuan instrumental untuk mencapai goal.[14]

Sebagaimana diketahui, bahwa tujuan hidup dalam ajaran Islam adalah pengabdian kepada Allah swt. yang diaplikasi dalam tugas kekhalifahan di bumi ini. Oleh karena itu, pendidikan Islam haruslah diorientasikan kepada tujuan hidup tersebut. Artinya, pendidikan hendaknya mampu menolong individu dalam menggali segala potensi dirinya sehingga ia dapat memenuhi tugas kekhalifahannya secara optimal. Maka tujuan umum pendidikan Islam dapat dirumuskan, sebagaimana dalam rekomendasi Konfrensi Pendidikan Muslim I di Mekah tahun 1977, yaitu :

Pendidikan harus bertujuan mencapai pertumbuhan pendidikan manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional, perasaan, dan indera. Karena itu pendidikan harus mencapai pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya: spritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa, baik secara individual maupun secara kolektif, dan mendorong semua aspek ini ke arah kebaikan dan mencapai kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan muslim terletak dalam perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia.[15]

Rumusan tujuan umum tersebut masih perlu dijabarkan ke dalam tujuan yang lebih operasional. Artinya, kita membutuhkan tujuan “antara” atau tujuan instrumental untuk sampai kepada tujuan umum (tujuan intrinsik). Hal ini dimaksudkan agar target yang ingin dicapai dapat diprogramkan secara sistematis, terencana, dan dapat dievaluasi. Tujuan instrumental harus selalu diinterpretasi menurut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, memperhatikan kondisi sosio-kultural dan geografis masyarakat, serta karakteristik dan jenjang pendidikan anak didik.[16] Di sinilah letak hubungan erat pendidikan dengan realitas sosial masyarakat. Melepaskan pendidikan dari realitas sosial akan membuat pendidikan itu sendiri kehilangan maknanya dalam membantu individu mengemban amanat kekhalifahan, karena kekhalifahan sangat terkait dengan konteks. Bagaimana mungkin melahirkan individu yang dapat memakmurkan bumi (tugas khalifah) bila pendidikan terisolasi dari realitas sosial.

Oleh karena itu, pendidikan Islam haruslah bersifat terbuka sebagaimana halnya dengan konsep Islam itu sendiri. M.M. Sharif menegaskan bahwa Islam adalah agama yang terbuka, ia bukanlah sistem tertutup tapi merupakan aturan religio-kultural yang progressif dan dapat berasimilasi dengan hal-hal yang dianggap terbaik (menurut standar Islam) dari budaya lain, sebagaimana telah ditunjukkan dalam sejarah.[17]

b. Individu dan Masyarakat dalam Tujuan Pendidikan

Persoalan selanjutnya yang terkait dengan tujuan pendidikan adalah individu dan masyarakat, apakah pendidikan berorientasi pada pengembangan individu, ataukah kepada kebutuhan masyarakat.

Dalam ajaran Islam, persoalan individu dan masyarakat dipandang sebagai satu kesatuan. Menurut Mahmoud Mohamed Toha, Islam memandang individu sebagai target utama. Individualitas dalam Islam merupakan esensi dari segala aktivitas sekaligus sebagai dasar berpijaknya tanggung jawab. Alquran sendiri, lanjut Toha, telah menegaskan bahwa setiap individu akan bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri, dan setiap individu akan dihadirkan dihadapan Tuhan, juga dengan sendiri-sendiri.[18] Oleh karena itu, individu memiliki kebebasan bertindak, berfikir dan berkreasi. Konstitusi sosial yang dibentuk bukan untuk membatasi kebebasan itu, tapi justru sebagai sarana dalam menjamin kebebasan. Keseimbangan (equilibrium) antar individu dalam masyarakat, bersumber dari konsep tauhid yang mana syariah Islam terbagi kepada dua level: level sosial dan level individual. Syariah dalam level sosial dikenal dengan muamalah sedangkan pada level individual dikenal dengan ibadah, keduanya merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi. Ibadah seseorang tak bernilai apa-apa jika tidak direfleksikan dalam hubungan sosial. Dengan kata lain, ibadah individu adalah ibarat sekolah tempat individu membekali diri secara teoritis, dan masyarakat adalah tempat untuk mempraktekkannya.[19]

Dengan demikian, individualitas dalam pandangan Islam berbeda dengan individualitas dalam pandangan materialis, perbedaannya terletak pada “nilai ibadah”. Menolong orang lain, bekerja sama, memelihara ketertiban masyarakat, dan aktivitas sosial lainnya, dalam pandangan Islam adalah kebutuhan setiap individu karena hal itu memberi nilai plus bagi kualitas dirinya (taqwa) dihadapan Tuhan. Sedangkan bagi kalangan materialis istilah “kerja sama” lebih dekat pada pengertian “sekedar toleransi”, artinya individu tidak saling mengganggu, tapi juga tak ada dorongan untuk menolong orang lain bila hal itu tidak memberi manfaat (secara lahiriah) pada diri sendiri. Di samping itu, konflik antar individu dalam masyarakat yang berasaskan konsep Islam, lebih mudah diatasi karena adanya kesamaan pandangan tentang nilai baik dan buruk.[20]

Berdasarkan konsep individualitas Islam tersebut, maka pendidikan pada hakekatnya bertujuan memenuhi kebutuhan individu dan masyarakat sekaligus. Karena setiap individu dididik berdasarkan nilai-nilai dan cara pandang yang sama, mereka bebas mengembangkan potensinya masing-masing, tapi keragaman potensi itu mengarah kepada tujuan yang sama, yakni memakmurkan bumi (orientasi sosial) sebagai perwujudan pengabdian kepada Sang Pencipta, atau ibadah (orientasi individual).

2. Materi dan Metode Pendidikan

Dalam praktek pendidikan Islam saat ini tampaknya aspek materi lebih dominan, sementara aspek metodologinya kurang mendapat perhatian. Anak didik disuguhkan dengan pengetahuan-pengetahuan yang “sudah jadi” dari warisan ulama-ulama klasik, seperti: Tafsir, Fiqh, Kalam dan sebagainya. Terlebih lagi pengetahuan-pengetahuan tersebut tidak dikaitkan dengan persoalan-persoalan kontemporer. Proses pendidikan agama, menurut Amin Abdullah, lebih banyak terkonsentrasi pada persoalan-persoalan teoritis keagamaan semata.[21]

Menurut Sardar, jika sarjana muslim masa depan diharapkan aktif dalam meningkatkan kesadaran umat, memecahkan masalah mereka, dan membantu menyesuaikan diri dengan perubahan, maka mereka mesti dilatih dengan metode yang lebih baru, yang berbeda secara radikal dengan pendekatan lama. Pendekatan lama dalam studi Islam, lanjut Sardar, memiliki dua cacat : pertama, gambaran tentang studi Islam (subject matter) sangat rigid dengan disiplin dan sub disiplin seperti Alquran, Hadis, Fiqh, Tarikh dan lain-lain yang disajikan sebagai komponen terpisah dari realitas; kedua, Islam dipandang secara parsial, padahal semestinya Islam dihadirkan sebagai pandangan dunia dalam mengatasi berbagai persoalan hidup. Dan sebagai pandangan dunia, Islam terbuka untuk menguji alat dan metode berbagai disiplin yang dapat meningkatkan pemahaman kita tentang berbagai persoalan manusia.[22]

a. Relevansi Materi Pelajaran dengan Realitas Sosial

Relevansi antara materi pelajaran yang disajikan dalam program pendidikan dengan situasi dan kondisi masyarakat, merupakan hal penting untuk diperhatikan oleh para pendidik agar pengetahuan yang dikaji dalam kelas bukan hanya menjadi kumpulan teori abstrak dalam benak anak didik, tetapi merupakan sesuatu yang nyata dan hidup dalam praktek keseharian mereka. Sehingga aspek kognitif, afektif dan psikomotorik mereka dapat berkembang seimbang. Oleh karena itu, realitas sosial harus dijadikan sebagai sumber belajar. Materi pelajaran seperti Alquran, Hadis, Fiqh, Kalam dan sebagainya, hendaknya berkaitan dengan pengalaman hidup anak didik berdasarkan jenjang usianya masing-masing. Dan tentu saja dalam hal ini dibutuhkan kecerdasan para pendidik dalam memilih metode yang relevan.

Di samping itu, lembaga pendidikan Islam juga harus terbuka dalam mengkaji berbagai disiplin ilmu, bukan hanya terbatas pada Tafsir, Hadis, Fiqh, Teologi dan sebagainya yang sering dikategorikan sebagai ilmu-ilmu keagamaan, tetapi juga ilmu-ilmu lain seperti Sosiologi, Antropologi, Psikologi, Fisika, Kimia dan sebagainya yang biasa dikategorikan sebagai ilmu-ilmu umum. Penguasaan berbagai disiplin ilmu tersebut, merupakan tuntutan logis dari tujuan akhir pendidikan Islam itu sendiri yang menghendaki perkembangan individu yang sempurna guna mengemban amanah kekhalifahan. Di era modern saat ini, tugas kekhalifahan itu hanya dapat dilaksanakan dengan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta berpegang teguh pada nilai-nilai absolut wahyu Ilahi. Persoalan-persoalan yang dihadapi dalam kehidupan masyarakat saat ini tidak cukup bila hanya dihadapi dengan merujuk pada kitab-kitab Tafsir atau Fiqh (apalagi jika itu produk jaman klasik), tetapi memerlukan pendekatan multi-inter disipliner. Hanya dengan pendekatan ini, menurut Sardar, generasi muda Islam dapat mengkaji persoalan-persoalan kontemporer yang serba kompleks multi-dimensional, demikian pula dalam menghadapi tantangan masa depan masyarakat Islam.[23]

Namun, tentu saja mustahil bagi seorang individu ahli dalam setiap disiplin ilmu, sehingga diperlukan adanya spesialisasi kajian bagi setiap individu menurut bakatnya masing-masing. Akan tetapi, spesialisasi hendaknya tidak dilakukan terlalu dini. Hal ini dimaksudkan untuk memberi bekal pengetahuan dasar umum secara merata pada setiap individu, di samping itu setiap individu memiliki kesempatan yang cukup untuk mengenali bakat dan minatnya sehingga nantinya tidak keliru dalam memilih jalur spesialisasi atau profesi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Dalam praktek kelembagaan pendidikan Islam, hal ini tampaknya perlu diperhatikan. Apakah sudah layak penjurusan dilakukan pada tingkat Aliyah, sebagaimana yang diterapkan oleh Departemen Agama pada Madrasah Aliyah Negeri dan swasta di Indonesia. Bahkan di IAIN, menurut penilaian Azyumardi Azra, penjurusan atau kompartementalisasi sebaiknya dilakukan setelah tiga semester agar semua mahasiswa memiliki kesamaan persepsi yang menyeluruh dan komprehensif. Bukan sebaliknya seperti yang terjadi saat ini, sejak semester awal S1 mahasiswa sudah dispesialisasikan dalam tiap jurusan, akibatnya mahasiswa fakultas syariah, misalnya, tidak memahami diskursus pemikiran kalam, sementara mahasiswa fakultas ushuluddin juga tidak faham tentang hukum Islam.[24]

b. Penguasaan Metodologi

Persoalan metodologi merupakan prioritas utama. Menurut Iqbal, metode bukanlah sesuatu yang eksis di luar materi pelajaran. Keduanya menyatu dalam pengalaman belajar. Pengalaman menurut Iqbal, adalah proses tunggal di mana persepsi individu menghubungkan antara apa yang dia lakukan terhadap sesuatu dengan konsekwensi dari perbuatan itu. Oleh karena itu, Iqbal menganjurkan agar anak didik diberi kebebasan mengekspresikan diri secara kreatif, melalui eksperimentasi dalam lingkungan. Dengan cara ini anak didik dapat meraih pengetahuan kongkrit, bermanfaat dalam praktek kehidupan sehari-hari, bukan teori-teori abstrak atau ide-ide yang tidak riel.[25]

Realitas sosial dan lembaga pendidikan, mesti selalu menjalin hubungan yang akrab. Sebagian besar proses belajar pada dasarnya berlangsung dalam lingkungan dan konteks sosial. Kehidupan anak didik dalam lingkungan yang senantiasa mengalami perubahan, di mana ia menjalin hubungan yang aktif dengan lingkungan tersebut, akan membawa perubahan-perubahan langsung pada kepribadiannya. Atas dasar ini, proses belajar dalam kelas haruslah senantiasa berkaitan dengan realitas sosial, lembaga pendidikan harus mampu merefleksikan phenomena yang riel dalam masyarakat untuk dijabarkan dalam program pembelajaran, karena pengetahuan yang terlepas dari aktivitas yang ada dalam dunia riel, menurut Iqbal, adalah pengetahuan yang tidak bermakna.[26]

Persoalannya kemudian adalah apakah semua materi pelajaran dapat dikaitkan dengan realitas sosial. Ilmu-ilmu empirik tentu saja tidak mengalami masalah, tapi bagaimana dengan ilmu-ilmu yang non-empirik seperti teologi. Hal ini dapat dijawab bahwa keterkaitan materi pelajaran dengan realitas sosial, tidaklah sepenuh bermaksud mencari jastifikasi pembenaran. Untuk ilmu empirik proses jastifikasi memang dapat dilakukan dengan membawa anak didik ke dalam dunia riel, melakukan eksperimen langsung melalui observasi. Sedangkan ilmu-ilmu non-empirik seperti teologi, pendekatan doktriner masih perlu dilakukan, tapi tidak berarti bahwa ilmu itu terlepas sama sekali dari dunia riel. Anak didik dapat saja diajak mengamati lingkungan (ayat kauniyah) untuk memperkuat doktrin teologis dari wahyu. Pada dasarnya doktrin teologi bukan sekedar untuk diketahui dan diyakini, tapi untuk dijabarkan dalam perilaku hidup sehari-hari. Aktivitas nyata merupakan tujuan riel dari setiap kehidupan beragama.[27] Di sinilah sebenarnya arti pentingnya inter-relasi antar berbagai subject-matter, antara ilmu-ilmu keagamaan dengan ilmu-ilmu umum, tentu saja dengan tetap berpegang pada epistemologinya masing-masing.

Sehubungan dengan persoalan di atas, salah satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengajaran adalah metodologi. Aksentuasi pada metodologi, menurut Sardar, jauh lebih penting untuk diterapkan dalam sistem pendidikan Islam di era modern ini, dari pada penguasaan materi semata. Kalau pada jaman dahulu anak dididik untuk menghafal hadis-hadis, menguasai tafsir-tafsir, maka di jaman modern saat ini hal itu tidak terlalu signifikan lagi. Anak didik mampu mengakses sekian ribu hadis lengkap dengan perawinya, mampu melakukan perbandingan penafsiran dari sekian mufassir besar, hanya dengan memencet tombol komputer, tinggal bagaimana mendidik dan mengajari mereka agar dapat menguasai teknologi komputer. Yang terpenting saat ini adalah mengembangkan kemampuan analisis, pemecahan masalah etik dan moral. Ringkasnya berpikir dengan paradigma Islami dalam mengkaji problem-problem aktual dalam masyarakat, bukan problem klasik yang tidak relevan lagi.[28]

Dengan demikian, apakah karya-karya para ulama klasik seperti Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Hanafi, tidak penting lagi dalam kajian Fiqh ; Kitab-kitab Tafsir seperti al-Qasimy, al-Tabari, Ibnu Kasir, harus diabaikan. Tentu saja tidak demikian. Hasil pemikiran ulama-ulama klasik tetap perlu dikaji, tapi tidak terbatas pada fatwah-fatwahnya, tapi yang terpenting bagaimana fatwah itu dikeluarkan, mengapa fatwah yang satu berbeda dengan fatwah yang lain. Maka dalam hal ini diperlukan berbagai pendekatan metodologis. Dengan pendekatan sosio-historis misalnya, dapat diketahui bahwa kondisi masyarakat antara ulama yang satu dengan yang lain berbeda, sehingga boleh jadi hal itu berpengaruh terhadap fatwah yang dikeluarkannya.

Aksentuasi pada metodologi seperti dicontohkan di atas akan mengembangkan kreativitas dan ketajaman analisis anak didik. Apalagi saat ini materi dapat diserap melalui berbagai sumber, baik melalui media elektronik maupun media cetak, yang tentu saja berbeda dengan zaman dulu ketika guru masih merupakan sumber satu-satunya. Salah satu penyebab munculnya pertikaian antar umat Islam, adalah perbedaan mazhab, dan hal ini karena setiap pengikut mazhab hanya mempelajari mazhabnya sendiri secara doktriner, mereka tidak mengerti latar belakang maupun metode berfikir Imam mazhabnya, apalagi Imam dari mazhab lain. Dengan penekanan pada aspek metodologi, kita dapat berharap umat Islam masa mendatang lebih terbuka menerima perbedaan pandangan, dan lebih toleran terhadap pandangan orang lain, bukan hanya antar sesama umat Islam tetapi juga dengan umat lain secara keseluruhan.

Dengan membekali anak didik dengan penguasaan metodologi, mereka akan dapat belajar sepanjang hidupnya, tidak kebingungan dalam menghadapi masalah-masalah sosial yang semakin kompleks, masalah-masalah yang tidak ditemukan jawabannya dari kitab-kitab ulama klasik. Mujtahid-mujtahid masa depan, hanya dapat dilahirkan jika sistem pendidikan Islam mampu membekali kemampuan metodologi yang mapan pada generasi muda muslim saat ini. Sebaliknya, jika hanya materi yang diperkuat dan mengabaikan metodologi, maka yang lahir adalah generasi taqlid yang kebingungan menghadapi masalah-masalah baru dalam masyarakat.

D. Penutup

Demikianlah, lembaga pendidikan Islam hendaknya lebih responsif terhadap situasi dan kondisi masyarakat, baik secara mikro dalam ruang lingkup sosio-kultural dan geografisnya masing-masing, maupun secara makro dalam kehidupan masyarakat global. Di samping itu, sistem pengajaran hendaknya lebih memprioritaskan penguasaan metodologi, sehingga yang diajarkan kepada anak didik adalah “how to do” dan bukannya “what to do”. Anak didik dibekali “kail” dan bukannya “ikan”, sehingga mereka dapat memiliki kemampuan beradaptasi dengan arus perubahan sosial yang kian cepat, tidak “kaget” dalam menghadapi berbagai persoalan baru yang timbul dalam kehidupan masyarakat.

Dengan cara demikian, para alumnus lembaga pendidikan Islam dapat ikut berpartisipasi secara aktif dalam berbagai lini kehidupan sosial kemasyarakatan, dan kita dapat berharap bahwa image masyarakat terhadap lembaga pendidikan Islam sebagai lembaga pendidikan “keakhiratan” sebagaimana yang terkesan selama ini, sedikit demi sedikit dapat dihilangkan.

DAFTAR PUTAKA

‘Abd. Allah, Abd. al-Rahman Salih, Educational Theory : A Qur’anic Outlook, Mekah: Umm al-Qura University, 1982

Abdullah, M. Amin, “Perspektif” Link and Match” Lembaga Pendidikan Tinggi Tenaga Kependidikan Islam : Rekonstruksi atas Tinjauan Metodologi Pembudayaan Nilai-Nilai Keagamaan” dalam Muslih Usa dan Aden Wijaya (ed.), Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, Yogyakarta: Aditya Media, 1997

______, “Studi-studi Islam : Sudut Pandang Filsafat” dalam Islamika, No. 5 1994, h. 67-75

______,“Problem Epistemologis-Metodologis Pendidikan Islam” dalam Abdul Munir Mulkhan, et.al. (Penyunting), Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren: Religiusitas Iptek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998

Ahmad, Khurshid, “Islam and The Problem of Educational Reconstruction” dalam al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies IAIN sunan Kalijaga Yogyakarta, No. 5 th. 1974, h. 1-12

Arkoun, Mohamad, al-Islam : al-Akhlaq wa al-Siyasah, terj. : Hashim Saleh Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qawmi, 1990

al-Attas, Syed Muhammad Naquib, (ed.), Aims and Objectives of Islamic Education, Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979

Ashraf, Ali, Horison Baru Pendidikan Islam, Sori Siregar (terj.), Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996

Azra, Azyumardi , “Rekonstruksi Kritis Ilmu dan Pendidikan Islam”, dalam Abdul Munir Mulkhan, et.al., (ed.), Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren: Religiusitas Iptek, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 1998

Husen, Torsten, The Learning Society, terj. : P. Surono Hargosenoyo dan Yusuf Hadi Miarso, Cet. I; Jakarta: Rajawali, 1988

Ibrahim, Idy Subandy dan Yudi Latief, “Media Massa dan Pemiskinan Imajinasi Sosial” dalam Idy Subandy Ibrahim dan Dedy Djamaluddin Malik (ed.), Hegemoni Budaya, Cet. I; Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1997

Ismail, Faisal, Paradigma Kebudayaan Islam : Studi Kritis dan Refleksi Historis, Cet. II; Yogyakarta : Titian Ilahi Press, 1998

Karim, M. Rusli, “Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transformasi Sosial Budaya” dalam Muslih Usa (ed.), Pendidikan Islam di Indonesia : Antara Cita dan Fakta, Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta, 1991

Nakosteen, Mehdi, History of Islamic Origin of Western Education A.D. 800-1350 : with an Introduction to Medieval Muslim Education, diterjemah ke dalam bahasa Indonesia oleh Joko S. Kahhar dan Supriyanto Abdullah dengan judul Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat : Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1996

Rahmat, Jalaluddin, “Generasi Muda di Tengah Arus Perkembangan Informasi”, dalam Idy Subandy Ibrahim dan Dedy Djamaluddin Malik (ed.), Hegemoni Budaya, Cet. I; Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1997

Sharif, M.M., Islamic and Educational Studies, Lahore: Institute of Islamic Culture, 1976

Suyata, Perbaikan Mutu Pendidikan Transformasi Sekolah dan Implikasi Kebijakan, (Pidato) disampaikan pada upacara Dies Natalis XXXIV IKIP Yogyakarta 23 Mei 1998

Thoha, Chobib, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1996

Tufail, Mian Muhammad, Iqbal’s Philosophy and Education, Lahore: Din Muhammadi Press, 1966



* Penulis adalah dosen STAIN Datokarama Palu DPK sebagai dosen PAI pada Universitas Tadulako Palu, Sulawesi Tengah

1Lihat: Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam : Studi Kritis dan Refleksi Historis, (Cet. II ; Yogyakarta : Titian Ilahi Press, 1998), h. 84-85.

2Khurshid Ahmad, “Islam and The Problem of Educational Reconstruction” dalam al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, No. 5 th. 1974, h. 1.

3M. Rusli Karim, “Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transformasi Sosial Budaya” dalam Muslih Usa (ed.), Pendidikan Islam di Indonesia : Antara Cita dan Fakta, (Cet. I ; Yogyakarta : Tiara Wacana Yogyakarta, 1991), h. 127.

4Lihat: Jalaluddin Rahmat, “Generasi Muda di Tengah Arus Perkembangan Informasi”, dalam Idy Subandy Ibrahim dan Dedy Djamaluddin Malik (ed.), Hegemoni Budaya, (Cet. I ; Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1997), h. 123-136.

5Lihat: Yudi Latief dan Idy Subandy Ibrahim “Media Massa dan Pemiskinan Imajinasi Sosial” dalam ibid., h. 143-144.

6Suyata, Perbaikan Mutu Pendidikan Transformasi Sekolah dan Implikasi Kebijakan, (Pidato) disampaikan pada upacara Dies Natalis XXXIV IKIP Yogyakarta 23 Mei 1998, h. 2.

7Torsten Husen, The Learning Society, terj. : P. Surono Hargosenoyo dan Yusuf Hadi Miarso, (Cet. I ; Jakarta: Rajawali, 1988), h. 5.

8Lihat: ibid., h. 26-29.

9Azyumardi Azra, “Rekonstruksi Kritis Ilmu dan Pendidikan Islam”, dalam Abdul Munir Mulkhan, et.al., (ed.), Religiusitas Iptek, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 1998), h. 88.

10Chobib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Cet. I ; Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 1996), h. 26.

11Lihat: M. Amin Abdullah, “Perspektif” Link and Match” Lembaga Pendidikan Tinggi Tenaga Kependidikan Islam : Rekonstruksi atas Tinjauan Metodologi Pembudayaan Nilai-Nilai Keagamaan” dalam Muslih Usa dan Aden Wijaya (ed.), Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, (Yogyakarta: Aditya Media, 1997), h. 201-202.

12Baca: M. Amin Abdullah, “Studi-studi Islam : Sudut Pandang Filsafat” dalam Islamika, No. 5 1994, h. 67-75.

13Lihat: M. Arkoun, al-Islam : al-Akhlaq wa al-Siyasah, terj. : Hashim Saleh (Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qawmi, 1990), h. 172-173.

14Pada dasarnya ketiga istilah ini memiliki makna yang sama yakni tujuan, hanya saja dalam penggunaan praktis, khususnya dalam dunia pendidikan, sering dibedakan. Lihat: Abd. al-Rahman Salih ‘Abd. Allah, Educational Theory : A Qur’anic Outlook, (Mekah: Umm al-Qura University, 1982), h. 114-115.

15Dikutip dalam Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, Sori Siregar (terj.), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), h. 107 ; Syed Muhammad Naquib al-Attas (ed.), Aims and Objectives of Islamic Education, (Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979), h. 158-159.

16Lihat: M.M. Sharif, Islamic and Educational Studies, (Lahore: Institute of Islamic Culture, 1976), h. 39-45.

17Ibid., h. 44. Penjelasan tentang bagaimana umat Islam berasimilasi dengan budaya lain, antara lain dapat dilihat dalam Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origin of Western Education A.D. 800-1350 : with an Introduction to Medieval Muslim Education, diterjemah ke dalam bahasa Indonesia oleh Joko S. Kahhar dan Supriyanto Abdullah dengan judul Kontribusi Islam atas Dunia ntelektual Barat : Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 207-254.

18Lihat misalnya: QS. al-An’am (6): 164 & 94 ; QS. Maryam (19): 80 & 95.

19Lihat: Mahmoud Mohamed Toha, op.cit., h. 62-63.

20Menurut Huntchins, jika kita hendak membicarakan pengembangan manusia dan masyarakat, kita mesti meyakini adanya perbedaan baik dan buruk. Nilai baik dan buruk dalam hal ini bukan yang bersumber dari tolak ukur positivistik, atau pragmatis. Baik dan buruk tak dapat ditemukan melalui penelitian laboratorium atau eksperimen. Robert Maynard Hutchins, op.cit., h. 151.

21M. Amin Abdullah, “Problem Epistemologis-Metodologis Pendidikan Islam” dalam Abdul Munir Mulkhan, et.al. (Penyunting), Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren : Religiusitas Iptek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 58.

22Lihat: Ziauddin Sardar, Islamic Futures …, op.cit., h. 314-317.

23Ibid., h. 315.

24Lihat: Azyumardi Azra, “Rekonstruksi Kritis Ilmu dan Pendidikan Islam” dalam Abdul Munir Mulkhan, et.al. (ed.), op.cit., h. 89-91.

25Lihat: Mian Muhammad Tufail, Iqbal’s Philosophy and Education, (Lahore: Din Muhammadi Press, 1966), h. 119-120.

26Lihat: ibid., h. 122-123.

27Ibid., h. 78.

28Lihat: Ziauddin Sardar, Islamic Futures …, op.cit., h. 314-315.