Kamis, 10 Maret 2011

Hijrah

HIJRAH DALAM PERSPEKTIF
SOSIO-KULTURAL HISTORIS

HIJRAH DALAM PERSPEKTIF

SOSIO-KULTURAL HISTORIS

Oleh: Hamka

Abstrak

Mekah merupakan pusat dagang menjelang kedatangan Islam, hal ini karena keberadaan Ka’bah sebagai pusat berhala setiap suku di jazirah Arab. Kondisi ini menempatkan orang Quraisy Mekah pada posisi yang menguntungkan, baik dari sudut sosio-kultural (pelindung Ka’bah), maupun dari sudut ekonomi. Dan ajaran Islam merupakan ancaman bagi kelanggengan posisi istimewa mereka itu, itulah mengapa mereka berupaya menyingkirkan umat Islam. Sementara di sisi lain, orang-orang Yasrib tengah mengharapkan kehadiran seorang pemimpin yang dapat mendamaikan perang saudara di antara mereka (Aus dan Khazraj), serta memulihkan perdagangan mereka yang tengah dimonopoli oleh orang-orang Yahudi. Harapan orang Yastrib ini tertuju kepada Muhammad dengan bakat kepemimpinan yang dimilikinya, beserta para pengikutnya yang terkenal lihai dalam bisnis. Hal itulah yang mendorong mereka mengundang Nabi dan umat Islam untuk berhijrah. Dengan demikian, dari sudut pandang sosio kultural, peristiwa hijrah pada dasarnya adalah sebuah keniscayaan historis.

Kata kunci: hijrah, sosio-kultural historis.

A. Pendahuluan

Peristiwa hijrah, perpindahan Rasulullah SAW. dan para sahabatnya dari Mekah ke Madinah, merupakan suatu peristiwa penting dalam sejarah muslim yang tidak dapat dianggap remeh. Hijrah merupakan permulaan lahirnya masyarakat Islam dan mempunyai makna religius dan historis yang luar biasa sehingga menjadi dasar dalam penulisan sejarah muslim, tahun pertama penanggalan hijrah.[1] Meskipun sejarah muslim itu sendiri sebenarnya sudah dimulai sejak Rasulullah SAW. menyampaikan seruannya, yakni sepuluh tahun sebelum hijrah.[2]

Menurut John L. Esposito, kepindahan Rasul ke Madinah menandai sebuah perubahan utama dalam sejarah dari zaman penyembahan berhala pra-Islam masa lampau, ke dunia yang dibimbing oleh dan berpusat pada Tuhan, di mana kesukuan dikalahkan oleh keanggotaan dalam suatu ummat yang disatukan oleh iman yang sama.[3]

Adanya rongrongan dan intimidasi dari kaum musyrikin Mekkah terhadap kaum muslimin, mungkin merupakan jawaban yang paling sering kita dengar atas pertanyaan “Mengapa Rasulullah SAW. dan kaum muslimin berhijrah?”. Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa kaum musyrikin Mekkah begitu benci kepada Rasulullah SAW orang yang sejak dulu dikenalnya sebagai orang yang jujur (al-amin)? Benarkah hanya karena faktor religius semata, atau ada faktor lain? Di sisi lain, mengapa orang-orang Yasrib[4] yang tidak banyak mengenal pribadi Muhammad, justru dengan mudah mempercayai bahkan mengundangnya untuk berhijrah? Mungkinkah hanya karena kepercayaan mereka akan kebenaran risalahnya (faktor religius), atau ada kepentingan lain ?

Tulisan ini, insya Allah, berusaha menjawab persoalan-persoalan tersebut dengan pendekatan Sosio-Cultural Historis, berdasarkan data-data literatur yang terkait.

B. Islam: Ancaman bagi Hegemoni Quraisy

Mekah, sebelum Islam, telah menjadi pusat dagang.[5] Bahkan menurut Syaban, Mekah merupakan daerah perdagangan internasional, sejak sekitar pertengahan abad ke-6 M.[6] Hal ini disebabkan karena Mekah merupakan pusat peribadatan bangsa Arab, di mana terdapat ka’bah yang dijadikan sebagai pusat berhala-berhala dari berbagai suku di Jazirah Arab. Pada setiap musim haji tiba maka mereka datang dari berbagai penjuru untuk melakukan penyembahan, di samping juga dapat berdagang dengan aman karena pada bulan-bulan suci dilarang melakukan peperangan. Hal tersebut telah menjadi tradisi mereka dari tahun ke tahun.[7] Beberapa Sejarahwan Barat, antara lain Patricia Crone, menolak pandangan tentang keberadaan Mekah sebagai pusat dagang. Menurutnya, kondisi geografisnya yang tandus tidak memungkinkan Mekah menjadi jalur dagang internasional, kalaupun ada kegiatan dagang di sana itu hanya dalam skala kecil.[8]

Namun perlu diingat bahwa, meskipun kondisi alamnya tandus, tapi keberadaan Ka’bah di Mekah tidak bisa digantikan oleh daerah lain yang subur sekalipun. Dan seperti telah disebutkan, Ka’bah memiliki arti penting dalam kultur Arab. Maka jelas sekali bahwa keberadaan Mekah sebagai pusat dagang lebih disebabkan oleh faktor kultural dari pada faktor geografis.

Kondisi Mekah yang demikian itu, membawa keuntungan finansial bagi penduduk Mekah, terutama bagi suku Quraisy yang merupakan penguasa ka’bah dan perdagangannya.[9] Hal ini pula yang membuat orang-orang Mekah mengalami kelunturan nilai-nilai humanisme kesukuan mereka, digerogoti oleh krisis moral dan sosial ketika mereka meninggalkan tatanan ekonomi nomadik dan memasuki tatanan ekonomi perdagangan atau ekonomi kapitalis.[10]

Atas kondisi yang demikian itulah Muhammad SAW diutus oleh Allah SWT untuk melakukan reformasi terhadap tatanan moral dan sosial masyarakat berdasarkan petunjuk wahyu dari Allah. Sehingga dalam pandangan kaum Quraisy, ajaran yang dibawa oleh Muhammad SAW. mengancam kedudukan dan kekuasaan mereka, baik secara politik maupun ekonomi. Pernyataan Muhammad akan kenabiannya, penentangannya terhadap ketidakadilan dalam masyarakat Mekah, dan penegasannya bahwa semua orang yang beriman adalah sama derajatnya, dan merupakan satu komunitas universal, mengancam wewenang politik kesukuan. Penolakan terhadap politeisme benar-benar mengancam kepentingan ekonomi kaum Quraisy yang mengontrol ka’bah, rumah suci yang merupakan sumber prestise dan pendapatan keagamaan masyarakat Mekah.[11]

Oleh karena itulah, orang-orang musyrik Mekah menentang ajaran yang dibawa oleh Muhammad SAW. Menurut Toha Husayn, sebagai dikutip oleh Asghar Ali, andaikata Muhammad hanya mengajarkan tentang kepercayaan kepada Allah SWT, tanpa menentang sistem ekonomi dan sosial, membiarkan perbedaan kuat dan lemah, hamba dan tuan, kaya dan miskin dan ketidakmerataan distribusi kekayaan, niscaya sebagian besar orang Mekah pasti menerimanya. Karena pada dasarnya mereka tidaklah secara tulus menyembah berhala, melainkan mereka menggunakan berhala-berhala itu untuk menguasai dan mengeksploitasi upacara mereka demi meraih keuntungan ekonomis.[12]

Dengan demikian, persoalan utama penyebab penolakan kaum musyrik Mekah terhadap ajaran Muhammad, adalah: Pertama, bukan karena tidak ingin menyembah Allah SWT tetapi karena ingin mempertahankan paganisme karena hal tersebut sangat berpengaruh pada perekonomian (perdagangan) mereka. Andai saja Islam tetap membolehkan penyembahan berhala di samping ibadah kepada Allah SWT sebagaimana yang pernah mereka tawarkan,[13] maka mereka tentu akan menerimanya; Kedua, prinsip persamaan derajat dalam Islam mengurangi wibawa kaum Aristokrat Quraisy sebagai suku termulia di antara suku-suku Jazirah Arab.

Kedua hal ini (kekuasaan dan perekonomian) saling terkait erat. Kaum Quraisy Mekah waktu itu merupakan penguasa serikat dagang yang melibatkan suku-suku Jazirah Arab, yang oleh Syaban disebut “Persemakmuran Mekah”. Salah satu aturan dalam persekutuan dagang tersebut adalah kewajiban bagi setiap kafilah dagang dari tiap suku membayar jaminan keamanan kepada kafilah Mekah. Karena atas usaha Hasyim, kafilah Mekah mendapat piagam perdamaian dari Kaisar Byzantium, sehingga secara politis mereka memiliki kekuasaan dalam perdagangan di Syria. Di samping itu, Mekah dinyatakan sebagai dar al-Khums, dan Ka’bah sebagai al-Khams, inilah yang memperkokoh kedudukan Quraisy Mekah sebagai pemegang kekuasaan. Dan karena khawatir ajaran Muhammad akan meruntuhkan kekuasaan dan perekonomian mereka,[14] maka orang-orang Quraisy dengan segala usaha mencoba menghambat perkembangan ajaran Islam, melalui intimidasi dan penyiksaan terhadap pengikutnya. Di samping itu, perang ekonomik menyusul terjadi antara para pengikut Muhammad dengan orang-orang Quraisy lainnya, orang-orang kaya melakukan pemboikotan ekonomik terhadap Muhammad dan pengikutnya.[15] Menanggapi kondisi yang demikian ini, Rasulullah SAW berusaha mengirim beberapa orang pengikutnya ke Abyssina, untuk mengadakan hubungan dagang secara bebas di sana, tetapi kaum Quraisy dengan cepat mengagalkan usahanya itu. Selanjutnya, beliau mencari bantuan dari luar, pertama-tama ke Saqif di Ta’if, mitra-mitra muda perdagangan Mekah, namun orang-orang Saqif tidak ingin mengambil resiko menghadapi kekuasaan Quraisy Mekah. Di samping itu, Ta'if juga merupakan pusat penyembahan Lat dan hal ini membawa keuntungan ekonomis bagi masyarakatnya, karena kurma-kurma mereka laris oleh para peziarah yang hendak melakukan penyembahan. Bila ajaran Islam diterima tentu saja Lat akan hilang dan secara otomatis mempengaruhi pemasaran kurma mereka. Akhirnya, beliau pun ditolak oleh orang-orang Ta'if dan terpaksa kembali dengan kecewa.[16]

Demikianlah kondisi sosio-kultural Mekah sama sekali tidak memberi peluang bagi perkembangan Islam, bahkan justru sangat mengancam kehidupan orang-orang Islam. Kondisi ini pula yang semakin mempermantap keinginan kaum muslimin untuk menerima ajakan orang-orang Madinah untuk berhijrah.

C. Fajar dari Madinah

Dalam kondisi kaum muslimin yang sangat memprihatinkan di bawah ancaman kaum musyrik Quraisy Mekah, saat itulah Rasulullah SAW bertemu dengan sekelompok orang Madinah yang tengah berkunjung ke Mekah di musim haji. Saat itu Rasulullah SAW berusaha menyerukan Islam pada suku-suku luar Mekah, sebagaimana yang dilakukannya pada tahun-tahun sebelumnya. Dari pertemuan awal inilah pada akhirnya berlanjut pada musim haji berikutnya, sampai kemudian Rasulullah SAW dan umat Islam di Mekah mendapat tawaran untuk berhijrah ke Madinah.[17]

Sebelum membicarakan lebih jauh tentang undangan orang-orang Madinah tersebut, teramat penting untuk mengetahui bagaimana kondisi sosio-kultural masyarakat Madinah sebelum peristiwa hijrah. Hal ini untuk mendapatkan gambaran mengapa orang-orang Madinah begitu antusias meminta Rasulullah dan kaum muslimin berhijrah? Bukankah hal itu membawa resiko kebencian kaum Quraisy dan sekutunya kepada penduduk Madinah?

1. Kondisi Sosio-Kultural Masyarakat Madinah Pra-Hijrah

Madinah yang sebelumnya disebut Yasrib, terletak sekitar 250 mil sebelah utara Mekah. Berbeda dengan Mekah yang tandus, di Madinah terdapat lahan subur (Oasis) kurang lebih 20 mil persegi. Sehingga penduduk Madinah banyak yang hidup dari pertanian. Di samping itu, baik Watt maupun Syaban mengakui bahwa, daerah ini juga memiliki hubungan dagang dengan Syiria, meski tak sebesar skala perdagangan Mekah.[18]

Di Madinah terdapat tiga kelompok suku, yakni Yahudi, Aws dan Khazraj. Wilayah ini, pertama-tama diduduki orang-orang Yahudi yang telah diusir dari Palestina oleh orang-orang Kristen. Kemudian datang pula suku Aws dan Khazraj, yang berasal dari Banu Qaila di Arabia Selatan. Dan pada pertengahan abad ke-6 Masehi, Aws dan Khazraj telah mendominasi Madinah.[19]

Pada awalnya Madinah dikuasai oleh orang-orang Yahudi, namun orang-orang Masehi di Syam, di bawah pengaruh Byzantium sangat benci pada Yahudi. Hingga pada awal abad ke-6 orang Masehi menyerang Madinah guna memerangi Yahudi, dan berkat bantuan suku Aws dan Khazraj, orang-orang Masehi berhasil menghancurkan orang-orang Yahudi. Sejak saat itulah suku Aws dan Khazraj menguasai Madinah. Namun, orang-orang Yahudi yang tersisa berhasil memecah belah Aws dan Khazraj, hingga mereka dapat menguasai kembali perdagangan dan kekayaan Madina.[20]

Pertentangan antara suku Aws dan Khazraj terus berkelanjutan, dan puncak dari pertentangan ini adalah terjadinya perang Bu’us beberapa tahun menjelang kedatangan Rasulullah SAW dan kaum muslimin di sana.[21] Akibat pertentangan yang tak berujung ini, Aws dan Khazraj semakin terpuruk, di sisi lain kaum Yahudi semakin mendominasi perekonomian Madinah.

2. Di Balik Undangan Orang-orang Madinah

Pada musim haji tahun 620 M. rombongan orang Madinah yang terdiri dari enam orang, berkunjung ke Mekah. Seperti telah dikemukakan, di Mekah mereka sempat bertemu dengan Rasulullah SAW dan mendengarkan seruannya untuk masuk Islam. Pada tahun berikutnya, 621 M., lima dari enam orang tersebut kembali lagi bersama tujuh orang Madinah yang lain. Dan keduabelas orang tersebut mewakili penduduk Madinah, berjanji untuk menerima dan mentaati Rasulullah SAW yang kemudian peristiwa ini disebut Baiat Aqabah I. Kemudian pada tahun berikutnya 622 M. orang-orang Madinah datang lagi sebanyak tujuh puluh lima orang, dua diantaranya adalah wanita, mereka kemudian berjanji untuk melindungi Rasulullah SAW dan kaum muslimin, yang kemudian dikenal dengan Baiat Aqabah II.[22]

Setelah melalui perjanjian (bai’at) aqabah pertama dan kedua, akhirnya Rasulullah SAW dan kaum muslimin menerima tawaran orang-orang Madinah untuk hijrah. Maka pada bulan rabiul awal, tepatnya tanggal 22 Juli 622 M. peristiwa hijrah yang bersejarah itu pun terjadi. Rasulullah beserta tujuh puluh orang muslim Mekah, meninggalkan tanah kelahirannya menuju ke Madinah.[23]

Menarik untuk dikaji mengapa orang-orang Madinah dengan mudah menerima Rasulullah SAW, bahkan berjanji untuk mentaatinya, serta melindunginya beserta para pengikutnya dari Mekah. Suatu sikap yang sangat berbeda dengan sikap suku-suku Arab lainnya.[24] Padahal, menurut Syaban, waktu itu hanya sekelompok kecil orang-orang Madinah yang memeluk Islam (bila dilihat dari besarnya jumlah penduduk Madinah). Di samping itu, di Madinah juga terdapat orang-orang Yahudi yang bersikap acuh tak acuh, tapi kemudian ditentang oleh suku-suku lain. Sehingga, lanjut Syaban, perlu dicari lebih jauh alasan di balik sikap yang tak terduga dari warga Madinah, selain dari motiv agama.[25] Bahkan sangat boleh jadi Rasulullah SAW dan kaum muslimin, pada awalnya, mempertanyakan sikap orang-orang Madinah yang kontroversial itu. Sehingga beliau tidak langsung menerima tawarannya, melainkan setelah melalui dua perjanjian (aqabah I dan II). Bahkan lebih lanjut, beliau juga terlebih dahulu mengutus Ibnu Ummi Maktum dan Masa’ab bin Umar, sebelum aqabah II, untuk mengajarkan Islam di Madinah di samping mengamati kondisi obyektif daerah dan masyarakat di sana.[26] Barulah kemudian Rasulullah SAW memutuskan untuk berhijrah setelah mendapat petunjuk dari Allah SWT.[27]

Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi sikap orang-orang Madinah untuk menerima Rasulullah SAW dan kaum muslimin Mekah berhijrah ke Madinah, secara garis besarnya dapat dilihat pada uraian berikut.

Pertama; Undangan orang Madinah pada Nabi SAW untuk berhijrah, sekaligus menjadi pemimpin, adalah karena prestise moral dan kecakapan politiknya. Karena tidaklah mungkin, menurut Fazlur Rahman, orang Madinah melakukan hal itu hanya atas dasar rasa kasihan.[28] Rasulullah SAW bukanlah orang yang tidak berpengaruh di Mekah, bahkan sebelum beliau menjadi rasul. Kasus yang paling sederhana yang menunjukkan kepiawaiannya dalam mengatasi masalah politik adalah peristiwa peletakan Hajarul Aswad yang saat itu hampir saja menimbulkan pertikaian antara suku-suku Arab.[29] Kasus ini sekaligus menunjukkan bahwa beliau cukup memiliki pengaruh bagi bangsa Arab, terbukti dengan kerelaan mereka menerimanya sebagai penengah. Di sisi lain, orang-orang Madinah sangat berharap akan kehadiran seorang penengah yang dapat mendamaikan mereka (Aws dan Khazraj) secara adil. Oleh karena itulah, mereka mengundang Rasulullah SAW dengan harapan dapat menjadi penengah di antara mereka.[30]

Kedua; Kepiawaian Rasulullah SAW. dan kaum muslimin dalam bidang perdagangan. Sebagai orang yang aktif dalam perdagangan Mekah selama hampir seluruh hidupnya, Beliau telah menunjukkan reputasinya sebagai orang yang dipercaya dalam mengelola kepentingan-kepentingan orang Quraisy yang lebih kaya. Sehingga menurut Syaban, bagi orang Madinah, khususnya Aws dan Khazraj kedatangan Rasulullah dan pengikutnya dipandang sebagai tenaga ahli yang akan meningkatkan perdagangan mereka yang selama ini dikuasai oleh orang-orang Yahudi. Selama di Mekah Rasulullah juga terlibat dalam persekutuan Mekah, dan karena itu ia sangat memahami cara-cara kerjanya. Kepiawaian Rasulullah dalam organisasi merupakan suatu hal yang tak ternilai. Hal ini terbukti kemudian dengan terbentuknya persemakmuran Madinah yang berdasarkan suatu konstitusi yang disebut piagam Madinah.[31]

Ketiga; Bagi orang Yahudi kedatangan Rasulullah diharapkan dapat membantu mereka untuk membentuk Jazirah Arab, sehingga dapat membendung kemungkinan serangan orang-orang Kristen yang telah mengusir mereka dari Palestina.[32] Di sisi lain, orang-orang Yahudi adalah kelompok minoritas, meskipun dari segi perekonomian mereka mendominasi Madinah. Sehingga ketika Aws dan Khazraj sepakat menerima Rasulullah SAW sebagai pemimpin, orang Yahudi tak dapat berbuat banyak menghadapi koalisi dua suku yang memang secara kuantitas lebih banyak.

Keempat; Ajaran moneteime yang dibawa oleh Rasulullah SAW secara psikologis menarik perhatian suku Aws dan Khazraj, mereka sering mendengar dari orang-orang Yahudi tentang akan datangnya seorang Nabi, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Taurat. Sehingga ketika pertama kali mendengarkan ajaran Rasulullah SAW mereka sangat tertarik untuk menerimanya sebelum didahului oleh orang-orang Yahudi.[33] Sehingga, menurut Asghar Ali, hal ini menunjukkan bahwa orang Arab (Aws dan Khazraj) merindukan suatu kitab suci dari mereka sendiri. Karena sebelumnya orang Yahudi memiliki keistimewaan dari mereka yang politeis. Olehnya itu orang Arab sebenarnya mencari Agama yang lebih tinggi yang lahir dari bangsa Arab sendiri. Agama dengan sebuah kitab suci dapat menempatkan mereka pada suatu tatanan budaya yang lebih tinggi.[34]

Kelima ; Silsilah nasab Rasulullah SAW masih terkait dengan Arab Madinah, karena neneknya dari garis ibu adalah orang Madinah.[35] Meskipun hal ini tampaknya tidak terlalu berpengaruh. Tapi paling tidak orang-orang Arab Madinah tidak merasa dikuasai oleh suku lain, dan perlu dicatat bahwa ashabiyyah sangat kental bagi orang-orang Arab.

Dari lima faktor yang disebut di atas, faktor pertama dan kedua merupakan motiv yang paling dominan yang membuat orang-orang Madinah bersedia menerima Rasulullah SAW dan kaum muslimin Mekah (Muhajirin). Hal ini juga tergambar pada aktivitas Rasulullah SAW dan kaum muslimin setelah di Madinah. Yakni perbaikan tatanan politik dan ekonomi. Lahirnya piagam Madinah adalah suatu bukti nyata usaha mempersatukan masyarakat Madinah, terutama suku Aws dan Khazraj. Sedangkan pernyataan Rasulullah tentang Madinah sebagai wilayah haram, menurut Watt dan Syaban, merupakan indikasi kuat terhadap pembentukan suatu pusat perdagangan baru.[36] Di samping itu, di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW bangsa Arab Madinah berhasil merebut dominasi Yahudi.[37]

D. Penutup

Intimidasi dan penyiksaan orang-orang musyrik Quraisy terhadap Rasulullah dan Umat Islam di Mekah, yang merupakan faktor penyebab hijrahnya kaum Muslimin, pada dasarnya dilatarbelakangi oleh kekhawatiran mereka akan ancaman ajaran Islam terhadap perekonomian (perdagangan) dan kekuasaan mereka.

Terjadinya hijrah bukan semata-mata kepentingan sepihak saja dari Rasulullah SAW dan umat Islam Mekah, tetapi juga suatu kebutuhan yang sangat urgen bagi orang-orang Madinah. Dengan hijrahnya Rasul dan kaum muslimin, masyarakat Madinah dapat dipersatukan, dan dari situlah kemudian lahir revolusi Islam yang dapat merubah dunia Arab secara total, bahkan telah merubah sejarah peradaban umat manusia secara universal.

Wa Allah A'lam bi al-shawab


[1]Tahun hijriyah ditetapkan oleh Umar bin Khattab pada tahun ke-17 dari tahun terjadinya hijrah atau tahun kelima dari masa kekhalifahannya (634-644/13-23). Ada pula yang berpendapat, sebagaimana riwayat Ibnu Syihab, bahwa ketika tiba di Madinah pada bulan Rabiul Awal Nabi langsung memerintahkan untuk menentukan tanggal hijriah. Tapi pendapat pertamalah yang paling banyak dipegangi oleh kaum muslimin. Lihat: Abiy Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Tabariy, Tarikh al-Umam wa al-Muluuk, Juz I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979 M./1399 H.), p. 252. Analisis tentang ketetapan Umar tersebut dapat dilihat pada Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim, (Cet. I ; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), p. 81-83.

[2]Lihat: Periodesasi Sejarah Muslim ke dalam tiga fase (klasik, tengah dan modern) dalam Nourouzzaman Shiddiqi, Tamaddun Muslim, Bunga Rampai Kebudayaan Muslim, (Cet. I ; Jakarta: Bulan Bintang, 1986), p. 114-115.

[3]John L. Esposito, Ancaman Islam Mitos atau Realitas ?, terj.: Alwiyah Abdur-rahman dan MISSI, (edisi revisi, Cet. III ; Bandung: Mizan, 1996), p. 39.

[4]Selanjutnya disebut Madinah.

[5]Lihat: W. Montgomery, Watt, Muhammad Prophet and Statesmen, (London: Oxford University Press, 1969), p. 47 ; M.A. Syaban, Sejarah Islam 600-750 M, (Penafsiran Baru), terj. : Machnun Husein, (Cet. I ; Jakarta: Citra Niaga Rajawali Press, 1993), p. 5 ; Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam al-Siyasiy wa al-Diniy wa al-Saqafiy wa al-Ijtima’iy, Juz I, (Cet. VIII ; Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyyah, 1964), p. 62..

[6]M.A. Syaban, ibid.

[7]Hasan Ibrahim Hasan, loc.cit..

[8] Perbincangan tentang pro-kontra adanya perdagangan di Mekah dapat dilihat pada: Faisal Ismail, Perdagangan Mekah, Muhammad Rasulullah dan Bangkitnya Agama Islam, Pidato disampaikan pada pengukuhan jabatan sebagai guru besar Sejarah dan Peradaban Islam IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 20 Juni 1998

[9]Bertold Spuled, The Muslim Word, A History Survey (Part I), diterjemahkan dari bahasa Jerman ke dalam bahasa Inggris oleh FRC. Bagley, (Cet. II ; Leiden: E.J. Brill, 1960), p. 4.

[10]Watt, Muhammad at Mecca, (Oxford: Oxford University Press, 1953), p. 79.

[11]Lihat: Philip K. Hitti, Islam a Way of Life, (Cet. II ; Minneapolis : University of Minnesota Press, 1971), p. 12.

[12]Asghar Ali Engineer, The Origin and Development of Islam, (Bombay: Orient Lougman Limited, 1980), p. 47.

[13]Lihat: Asbab Nuzul Surah al-Kafirun dalam Syihab al-Din Sayyid Mahmud al-Alusiy, Ruh al-Ma’aniy, Juz 30 (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), p. 450.

[14]. Lihat: M.A. Syaban, op.cit., p. 4-8.

[15]Lihat: Ibnu Khaldun, Tarikh Ibnu Khaldun, Jilid III, (Beirut: Mu’assasah Jammal Li al-Taba’ah wa al-Nasyr, 1979), p. 9.

[16]Lihat: M.A. Syaban, op.cit., p. 11;Muhammad Husein Heikal, Hayat Muhammad, diterjemah oleh Ali Audah, Sejarah Hidup Muhammad, (Cet. XVII ; Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 1994), p. 151.

[17]Tentang pertemuan Rasulullah Saw. dengan orang-orang Madinah, selengkapnya lihat: al-Tabariy, op.cit., p. 233-235 ; Ibnu Khaldun, op.cit., p. 10-11.

[18]Lihat: Watt, “Muhammad Prophet …”, op.cit., p. 84 ; M.A. Syaban, op.cit., p.12.

[19]Lihat: GE. Van Grunebaum, Classical Islam, A History 600-1258, diterjemah dari bahasa Jerman ke dalam bahasa Inggeris oleh Katherine Watson, (London: George Allen & Unwin LTD., 1970), p. 34. Bandingkan dengan TW. Arnold, The Preaching of Islam, (ed. II ; Delhi : Law Price Publications, 1995), p. 20. Menurut Akram, orang-orang Yahudi datang ke Madinah sekitar abad ke-1 dan ke-2 Masehi. Sedangkan Aws dan Khazraj pertama kali datang di sana sekitar tahun 207 M. dan selanjutnya terus bertambah, dan pada tahun 492 M. mereka telah mendominasi Madinah. Lihat: Akram Diya al-‘Umariy, Masyarakat Madinah pada Masa Rasulullah, terj.: Asrama Hadi Usman, (Cet. I ; Jakarta: Media Dakwah, 1994), p. 53-55.

[20]Muhammad Husein Heikal, op.cit., p. 163-164.

[21]Philip K. Hitti, History of the Arabs, (edisi IX, Cet. IV ; London: The Macmillan Press LTD., 1974), p. 89. Menurut Watt, perang Bu’us terjadi pada tahun 618, di sebuah tempat yang disebut Bu’us. Lihat: Watt, “Muhammad Prophet …”, op.cit., p. 87.

[22]Lihat: Ibnu Khaldun, op.cit., p. 12-13 ; al-Tabariy, op.cit., p. 233-235 ; Watt, “Muhammad Prophet …”, ibid., p. 83 ; Muhammad Husein Heikal, op.cit., p. 165-173 ; Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, Jilid , Mustafa al-Siqa’ (ed.), (Cet. II ; Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah al-Babiy al-Halabiy, 1955), p. 428-429.

[23]Watt, Bell’s Introduction to the Qur’an, (Edinburg: Edinburg University Press, 1970), p. 11.

[24]Beberapa suku (clan) Arab yang pernah diajak oleh Rasulullah untuk masuk Islam, antara lain: Banu Amar bin Sha’sha’ah dari Mudr, Banu Syaiban, Banu Hanifah dari Rabi’ah, dan Kindah dari Qahtan, Kalb dari Qada’ah, dll., namun tak satupun dari mereka yang bersimpati, apalagi untuk menerima Islam. Lihat: Ibnu Khaldun, op.cit., p. 10-11.

[25]M.A. Syaban, op.cit., p. 13.

[26]Lihat: Ibnu Khaldun, op.cit., p. 12 ; Muhammad Husein Heikal, op.cit., p. 168.

[27]Lihat hadis tentang hijrah pada: Imam Bukhariy, Sahih al-Bukhariy, Juz IV, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), p. 252 ; Imam Muslim, Sahih Muslim, Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), p. 309.

[28]Fazlur Rahman, Islam, terj. : Achsin Mohammad, (Cet. I ; Bandung: Pustaka, 1984), p. 12-13.

[29]Peristiwa tentang Hajaratul Aswad dapat dilihat pada: al-Tabariy, op.cit., p. 201 ; Ibnu Khaldun, op.cit., p. 5-6.

[30]Lihat: Watt, “Muhammad Prophet ...”, op.cit., p. 88-89 ; al-Tabariy, ibid., p. 234 ; M.A. Syaban, op.cit., p. 13 ; Arthur Goldschmidt, A Concise History of the Middle East, (Cet. V ; London & Boulder : Westview Press, 1988), p. 34.

[31]Lihat: M.A. Syaban, ibid., p. 13-14. Pada awalnya orang Yahudi Bani Quraiza, Nadzir dan Qainuqa tidak ikut menandatangani piagam Madinah, tapi tak berapa lama mereka pun membuat perjanjian serupa dengan Nabi, lihat: Muhammad Husein Heikal, op.cit., p. 205.

[32]Muhammad Husein Heikal, ibid., p. 196.

[33]Lihat: Ibnu Hisyam, op.cit., p. 428-429.

[34]Lihat: Asghar Ali Engineer, op.cit., p. 97.

[35]Watt, “Muhammad Prophet ...”, op.cit., p. 89.

[36]M.A. Syaban, op.cit., p. 15.

[37]Asghar Ali Engineer, op.cit., p. 98.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar