Kamis, 10 Maret 2011

Pendidikan dan Perubahan Sosial

PENDIDIKAN DAN PERUBAHAN SOSIAL: KE ARAH REKONSTRUKSI KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM

Hamka

A. Pendahuluan

Pendidikan merupakan sub-sistem dalam keseluruhan sistem budaya. Pendidikan dan kebudayaan merupakan refleksi kehidupan intelektual dan kultural suatu bangsa dalam perjalanan misi sejarah yang disandangnya.[1] Dari sekian permasalahan yang dihadapi oleh dunia Islam saat ini, menurut Khurshid Ahmad masalah pendidikan merupakan masalah yang paling menantang, di mana masa depan umat Islam sangat ditentukan oleh kemampuan mereka menjawab tantangan ini.[2]

Pendidikan Islam dalam era perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini, semakin dipertanyakan relevansinya, terutama jika dikaitkan dengan kontribusinya bagi pembentukan budaya modern yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam konteks ini pendidikan mengalami degradasi fungsional, karena pendidikan semakin berorientasi materialistik. Tak dapat dipungkiri lagi bahwa akurasi suatu lembaga pendidikan cenderung dinilai dari sejauh mana out-put-nya dapat berpartisipasi aktif dalam mengisi lapangan kerja yang disediakan oleh dunia industri. Lembaga pendidikan diperlakukan sebagai asset sosial yang memiliki fungsi khusus dalam menyiapkan tenaga kerja yang akan memenuhi tuntutan dunia (lapangan) kerja yang bercorak industrialistis.[3]

Dalam konteks makro, hampir semua sistem pendidikan yang ada di dunia ini selalu kalah berpacu dengan perubahan sosial. Hal ini, antara lain, disebabkan oleh kemajuan teknologi informasi.[4] George Gerbner menyatakan, media massa telah turut memberi andil dalam memoles kenyataan sosial, bahkan media telah menjadi “agama resmi” masyarakat industri. Media massa telah ikut mempengaruhi perubahan bentuk masyarakat. Menurut Godan Hedebro, media massa adalah pembentuk kesadaran sosial yang pada akhirnya menentukan persepsi orang terhadap dunia dan masyarakat tempat di mana mereka hidup.[5] Pertanyaan yang muncul kemudian adalah dimanakah fungsi lembaga pendidikan? Masihkah ia dapat diklaim sebagai agent of social change? Kalau pun kita masih mengakui adanya fungsi tersebut, paling tidak kita pun harus menyadari bahwa ia bukan satu-satunya, bahkan mungkin tingkat efektivitasnya sebagai agent of social change jauh berada di bawah (efektivitas) media massa.

Atas dasar pemikiran di atas, makalah ini hendak mengkaji bagaimana seharusnya pendidikan Islam menyikapi arus perubahan sosial, agar tetap eksis dan dapat mengemban tugas dalam memberi warna bagi kehidupan sosial masyarakat modern dengan nuansa keislaman. Kajian ini akan difokuskan pada upaya rekonstruksi kurikulum pendidikan Islam, namun sebelumnya akan diungkap terlebih dahulu sejumlah dilema yang dihadapi oleh dunia pendidikan Islam dewasa ini.

B. Dilema Sistem Pendidikan Islam

Menurut Suyata, akar permasalahan kegagalan pendidikan antara lain adalah: inersia sistem pendidikan terhadap perubahan lingkungan sosial, ekonomi, budaya, kemajuan ilmu dan teknologi, tata nilai dan tuntutan yang menyertainya. Hal ini, lanjut beliau, terlihat pada ketidakmampuan lembaga pendidikan menyesuaikan kehidupan internalnya maupun hubungannya dengan dunia luar.[6] Kelemahan sistem pendidikan umumnya, dan pendidikan Islam khususnya, adalah kesenjangan antara lembaga pendidikan dengan realitas sosial masyarakat. Lembaga pendidikan terlalu bersifat formalistis, lebih mementingkan transmisi pengetahuan dan kurang memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat, sehingga seakan-akan di antara keduanya tidak ada keterkaitan. Lembaga pendidikan hidup dalam dunianya sendiri di balik “pagar” kurikulum yang kaku. Hal inilah yang disinyalir oleh Torsten Husen, bahwa :

Suatu penyakit profesional yang menjangkiti para pendidik di seluruh dunia, baik yang terjangkau oleh riset maupun yang tidak, adalah kebutaan terhadap kenyataan bahwa sekolah adalah dan haruslah merupakan bagian integral dari masyarakat sekitarnya, dan sama sekali tidak boleh bergerak di dalam kehampaan kehidupan sosial.[7]

Lebih lanjut beliau menegaskan bahwa lembaga pendidikan dalam era modern dihadapkan pada dua alternatif : pertama ; isolasi yang akan membawa dampak kehancuran, atau kedua ; perubahan secara gradual dan adaptif terhadap kondisi sosial masyarakat.[8]

Dalam kaitannya dengan pendidikan Islam, kita patut mempertimbangkan pandangan Azyumardi Azra tentang arah rekonstruksi pemikiran dan praktek pendidikan Islam. Salah satu di antaranya, menurut beliau, adalah: pengembangan sikap penerimaan kultural yang sadar terhadap perubahan; dunia ini berubah, lingkungan berubah dan kita harus melakukan adaptasi terhadap perubahan tersebut kalau kita ingin survive. Sikap yang demikian, lanjut beliau, hasil akhirnya akan menciptakan sistem pendidikan yang berorientasi ke masa depan (future oriented) dan bukan sekedar berorientasi ke masa silam (past oriented).[9] Pandangan yang lebih tegas lagi dikemukakan oleh Chobib Thoha bahwa: falsafah pendidikan Islam lebih tepat jika menggunakan falsafah progresivisme, artinya pendidikan mendahului gerak perubahan sosial.[10]

Namun demikian, untuk menciptakan sistem pendidikan yang mampu mengikuti arus perkembangan sosial, apalagi untuk mendahuluinya, tentu saja tidak mudah, khususnya bagi lembaga pendidikan Islam yang selama ini cenderung menggunakan pendekatan doktriner-literal-formal. Jika terjadi perubahan sosial yang berdampak pada perubahan tata nilai kultural, maka bukan agama yang harus mengikuti alur perubahan sosial, tetapi sebaliknya perubahan sosiallah yang mesti mengikuti patokan agama. Dalam konteks ini maka pendidikan Islam cenderung bersifat “defensif” dan tidak “agresif”, terutama pada aspek metodologi yang digunakan dalam menghadapi tantangan zaman yang selalu berubah.[11]

Dilema yang dihadapi oleh lembaga pendidikan Islam, antara keinginan untuk tetap berpegang teguh pada dogma agama di satu sisi dan penyesuaian diri terhadap perubahan zaman, di sisi lain sebenarnya tidak perlu terjadi seandainya aspek “normativitas” dan “historisitas” keagamaan dapat dibedakan secara jernih dan tegas batas-batas di antara keduanya.[12] Apa yang terjadi dalam dunia Islam, khususnya sepanjang abad ke-12 hingga abad ke-19, menurut Arkoun, adalah taqdis al-afkar al-Diniy[13] atau pensakralan pemikiran keagamaan, sebagai akibatnya, terjadi pencampuran dan tumpang tindih antara dimensi historisitas dan normativitas keagamaan. Hasil pemikiran para ulama klasik (sebagai interpretasi dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah) yang pada dasarnya tidak terlepas dari kondisi sosio-kultural pada masanya, telah disakralkan, dianggap telah baku dan tidak boleh diganggu-gugat lagi, sesuatu yang pada dasarnya bersifat historis berubah menjadi normatif.

Dalam kaitannya dengan pendidikan Islam, Al-Qur’an dan Hadis merupakan landasan utama yang bersifat normatif, salih li kulli zaman wa makan. Tetapi bagaimana pelaksanaan pendidikan itu sendiri, sistem kelembagaannya, metodologi, kurikulum dan sebagainya, tentulah merupakan hal-hal yang senantiasa perlu dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman. Pada sisi inilah pendidikan Islam senantiasa terbuka untuk diperbincangkan, termasuk dalam hal ini melakukan perbandingan dengan teori-teori pendidikan modern, bahkan mengadopsi teori-teori yang dianggap positif dan tentu saja dengan cara yang kritis.

C. Rekonstruksi Kurikulum Pendidikan Islam

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa kata kunci dalam upaya rekonstruksi sistem pendidikan Islam adalah “keselarasan”. Artinya, lembaga pendidikan Islam harus mampu mengadaptasikan diri dengan arus perubahan sosial, dan bukannya hidup dalam “menara gading”, terisolir dari persoalan-persoalan yang tengah dihadapai oleh masyarakat sekitarnya. Namun, ini tidak berarti bahwa pendidikan Islam harus larut dengan pasrah mengikuti arus akselerasi perubahan sosial. Proses adaptasi haruslah dilakukan secara kritis dengan tetap berpijak pada prinsip dasar keislaman.

Sehubungan dengan hal tersebut, dalam kurikulum pendidikan Islam ada tiga hal penting yang akan dicermati di sini, yaitu tujuan pendidikan, materi dan metode.

1. Tujuan Pendidikan

a. Tujuan Pendidikan dan Perubahan Sosial

Dalam dunia pendidikan dikenal adanya stratifikasi tujuan, mulai dari yang bersifat abstrak, ideal dan umum, sampai kepada yang kongkrit, praktis dan khusus. Istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan stratifikasi tujuan pendidikan berdasarkan ruang lingkupnya adalah: aim, goal dan objective. Aim memiliki pengertian yang lebih luas, umum, dan menggambarkan target ideal yang hendak dicapai. Sedangkan goal adalah penjabaran dari aim dalam bentuk yang lebih terperinci dan merupakan tujuan instrumental untuk mencapai target ideal. Dan objective adalah penjabaran lebih lanjut dari goal ke dalam bentuk yang lebih spesifik dan kongkrit, objective merupakan tujuan instrumental untuk mencapai goal.[14]

Sebagaimana diketahui, bahwa tujuan hidup dalam ajaran Islam adalah pengabdian kepada Allah swt. yang diaplikasi dalam tugas kekhalifahan di bumi ini. Oleh karena itu, pendidikan Islam haruslah diorientasikan kepada tujuan hidup tersebut. Artinya, pendidikan hendaknya mampu menolong individu dalam menggali segala potensi dirinya sehingga ia dapat memenuhi tugas kekhalifahannya secara optimal. Maka tujuan umum pendidikan Islam dapat dirumuskan, sebagaimana dalam rekomendasi Konfrensi Pendidikan Muslim I di Mekah tahun 1977, yaitu :

Pendidikan harus bertujuan mencapai pertumbuhan pendidikan manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional, perasaan, dan indera. Karena itu pendidikan harus mencapai pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya: spritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa, baik secara individual maupun secara kolektif, dan mendorong semua aspek ini ke arah kebaikan dan mencapai kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan muslim terletak dalam perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia.[15]

Rumusan tujuan umum tersebut masih perlu dijabarkan ke dalam tujuan yang lebih operasional. Artinya, kita membutuhkan tujuan “antara” atau tujuan instrumental untuk sampai kepada tujuan umum (tujuan intrinsik). Hal ini dimaksudkan agar target yang ingin dicapai dapat diprogramkan secara sistematis, terencana, dan dapat dievaluasi. Tujuan instrumental harus selalu diinterpretasi menurut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, memperhatikan kondisi sosio-kultural dan geografis masyarakat, serta karakteristik dan jenjang pendidikan anak didik.[16] Di sinilah letak hubungan erat pendidikan dengan realitas sosial masyarakat. Melepaskan pendidikan dari realitas sosial akan membuat pendidikan itu sendiri kehilangan maknanya dalam membantu individu mengemban amanat kekhalifahan, karena kekhalifahan sangat terkait dengan konteks. Bagaimana mungkin melahirkan individu yang dapat memakmurkan bumi (tugas khalifah) bila pendidikan terisolasi dari realitas sosial.

Oleh karena itu, pendidikan Islam haruslah bersifat terbuka sebagaimana halnya dengan konsep Islam itu sendiri. M.M. Sharif menegaskan bahwa Islam adalah agama yang terbuka, ia bukanlah sistem tertutup tapi merupakan aturan religio-kultural yang progressif dan dapat berasimilasi dengan hal-hal yang dianggap terbaik (menurut standar Islam) dari budaya lain, sebagaimana telah ditunjukkan dalam sejarah.[17]

b. Individu dan Masyarakat dalam Tujuan Pendidikan

Persoalan selanjutnya yang terkait dengan tujuan pendidikan adalah individu dan masyarakat, apakah pendidikan berorientasi pada pengembangan individu, ataukah kepada kebutuhan masyarakat.

Dalam ajaran Islam, persoalan individu dan masyarakat dipandang sebagai satu kesatuan. Menurut Mahmoud Mohamed Toha, Islam memandang individu sebagai target utama. Individualitas dalam Islam merupakan esensi dari segala aktivitas sekaligus sebagai dasar berpijaknya tanggung jawab. Alquran sendiri, lanjut Toha, telah menegaskan bahwa setiap individu akan bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri, dan setiap individu akan dihadirkan dihadapan Tuhan, juga dengan sendiri-sendiri.[18] Oleh karena itu, individu memiliki kebebasan bertindak, berfikir dan berkreasi. Konstitusi sosial yang dibentuk bukan untuk membatasi kebebasan itu, tapi justru sebagai sarana dalam menjamin kebebasan. Keseimbangan (equilibrium) antar individu dalam masyarakat, bersumber dari konsep tauhid yang mana syariah Islam terbagi kepada dua level: level sosial dan level individual. Syariah dalam level sosial dikenal dengan muamalah sedangkan pada level individual dikenal dengan ibadah, keduanya merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi. Ibadah seseorang tak bernilai apa-apa jika tidak direfleksikan dalam hubungan sosial. Dengan kata lain, ibadah individu adalah ibarat sekolah tempat individu membekali diri secara teoritis, dan masyarakat adalah tempat untuk mempraktekkannya.[19]

Dengan demikian, individualitas dalam pandangan Islam berbeda dengan individualitas dalam pandangan materialis, perbedaannya terletak pada “nilai ibadah”. Menolong orang lain, bekerja sama, memelihara ketertiban masyarakat, dan aktivitas sosial lainnya, dalam pandangan Islam adalah kebutuhan setiap individu karena hal itu memberi nilai plus bagi kualitas dirinya (taqwa) dihadapan Tuhan. Sedangkan bagi kalangan materialis istilah “kerja sama” lebih dekat pada pengertian “sekedar toleransi”, artinya individu tidak saling mengganggu, tapi juga tak ada dorongan untuk menolong orang lain bila hal itu tidak memberi manfaat (secara lahiriah) pada diri sendiri. Di samping itu, konflik antar individu dalam masyarakat yang berasaskan konsep Islam, lebih mudah diatasi karena adanya kesamaan pandangan tentang nilai baik dan buruk.[20]

Berdasarkan konsep individualitas Islam tersebut, maka pendidikan pada hakekatnya bertujuan memenuhi kebutuhan individu dan masyarakat sekaligus. Karena setiap individu dididik berdasarkan nilai-nilai dan cara pandang yang sama, mereka bebas mengembangkan potensinya masing-masing, tapi keragaman potensi itu mengarah kepada tujuan yang sama, yakni memakmurkan bumi (orientasi sosial) sebagai perwujudan pengabdian kepada Sang Pencipta, atau ibadah (orientasi individual).

2. Materi dan Metode Pendidikan

Dalam praktek pendidikan Islam saat ini tampaknya aspek materi lebih dominan, sementara aspek metodologinya kurang mendapat perhatian. Anak didik disuguhkan dengan pengetahuan-pengetahuan yang “sudah jadi” dari warisan ulama-ulama klasik, seperti: Tafsir, Fiqh, Kalam dan sebagainya. Terlebih lagi pengetahuan-pengetahuan tersebut tidak dikaitkan dengan persoalan-persoalan kontemporer. Proses pendidikan agama, menurut Amin Abdullah, lebih banyak terkonsentrasi pada persoalan-persoalan teoritis keagamaan semata.[21]

Menurut Sardar, jika sarjana muslim masa depan diharapkan aktif dalam meningkatkan kesadaran umat, memecahkan masalah mereka, dan membantu menyesuaikan diri dengan perubahan, maka mereka mesti dilatih dengan metode yang lebih baru, yang berbeda secara radikal dengan pendekatan lama. Pendekatan lama dalam studi Islam, lanjut Sardar, memiliki dua cacat : pertama, gambaran tentang studi Islam (subject matter) sangat rigid dengan disiplin dan sub disiplin seperti Alquran, Hadis, Fiqh, Tarikh dan lain-lain yang disajikan sebagai komponen terpisah dari realitas; kedua, Islam dipandang secara parsial, padahal semestinya Islam dihadirkan sebagai pandangan dunia dalam mengatasi berbagai persoalan hidup. Dan sebagai pandangan dunia, Islam terbuka untuk menguji alat dan metode berbagai disiplin yang dapat meningkatkan pemahaman kita tentang berbagai persoalan manusia.[22]

a. Relevansi Materi Pelajaran dengan Realitas Sosial

Relevansi antara materi pelajaran yang disajikan dalam program pendidikan dengan situasi dan kondisi masyarakat, merupakan hal penting untuk diperhatikan oleh para pendidik agar pengetahuan yang dikaji dalam kelas bukan hanya menjadi kumpulan teori abstrak dalam benak anak didik, tetapi merupakan sesuatu yang nyata dan hidup dalam praktek keseharian mereka. Sehingga aspek kognitif, afektif dan psikomotorik mereka dapat berkembang seimbang. Oleh karena itu, realitas sosial harus dijadikan sebagai sumber belajar. Materi pelajaran seperti Alquran, Hadis, Fiqh, Kalam dan sebagainya, hendaknya berkaitan dengan pengalaman hidup anak didik berdasarkan jenjang usianya masing-masing. Dan tentu saja dalam hal ini dibutuhkan kecerdasan para pendidik dalam memilih metode yang relevan.

Di samping itu, lembaga pendidikan Islam juga harus terbuka dalam mengkaji berbagai disiplin ilmu, bukan hanya terbatas pada Tafsir, Hadis, Fiqh, Teologi dan sebagainya yang sering dikategorikan sebagai ilmu-ilmu keagamaan, tetapi juga ilmu-ilmu lain seperti Sosiologi, Antropologi, Psikologi, Fisika, Kimia dan sebagainya yang biasa dikategorikan sebagai ilmu-ilmu umum. Penguasaan berbagai disiplin ilmu tersebut, merupakan tuntutan logis dari tujuan akhir pendidikan Islam itu sendiri yang menghendaki perkembangan individu yang sempurna guna mengemban amanah kekhalifahan. Di era modern saat ini, tugas kekhalifahan itu hanya dapat dilaksanakan dengan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta berpegang teguh pada nilai-nilai absolut wahyu Ilahi. Persoalan-persoalan yang dihadapi dalam kehidupan masyarakat saat ini tidak cukup bila hanya dihadapi dengan merujuk pada kitab-kitab Tafsir atau Fiqh (apalagi jika itu produk jaman klasik), tetapi memerlukan pendekatan multi-inter disipliner. Hanya dengan pendekatan ini, menurut Sardar, generasi muda Islam dapat mengkaji persoalan-persoalan kontemporer yang serba kompleks multi-dimensional, demikian pula dalam menghadapi tantangan masa depan masyarakat Islam.[23]

Namun, tentu saja mustahil bagi seorang individu ahli dalam setiap disiplin ilmu, sehingga diperlukan adanya spesialisasi kajian bagi setiap individu menurut bakatnya masing-masing. Akan tetapi, spesialisasi hendaknya tidak dilakukan terlalu dini. Hal ini dimaksudkan untuk memberi bekal pengetahuan dasar umum secara merata pada setiap individu, di samping itu setiap individu memiliki kesempatan yang cukup untuk mengenali bakat dan minatnya sehingga nantinya tidak keliru dalam memilih jalur spesialisasi atau profesi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Dalam praktek kelembagaan pendidikan Islam, hal ini tampaknya perlu diperhatikan. Apakah sudah layak penjurusan dilakukan pada tingkat Aliyah, sebagaimana yang diterapkan oleh Departemen Agama pada Madrasah Aliyah Negeri dan swasta di Indonesia. Bahkan di IAIN, menurut penilaian Azyumardi Azra, penjurusan atau kompartementalisasi sebaiknya dilakukan setelah tiga semester agar semua mahasiswa memiliki kesamaan persepsi yang menyeluruh dan komprehensif. Bukan sebaliknya seperti yang terjadi saat ini, sejak semester awal S1 mahasiswa sudah dispesialisasikan dalam tiap jurusan, akibatnya mahasiswa fakultas syariah, misalnya, tidak memahami diskursus pemikiran kalam, sementara mahasiswa fakultas ushuluddin juga tidak faham tentang hukum Islam.[24]

b. Penguasaan Metodologi

Persoalan metodologi merupakan prioritas utama. Menurut Iqbal, metode bukanlah sesuatu yang eksis di luar materi pelajaran. Keduanya menyatu dalam pengalaman belajar. Pengalaman menurut Iqbal, adalah proses tunggal di mana persepsi individu menghubungkan antara apa yang dia lakukan terhadap sesuatu dengan konsekwensi dari perbuatan itu. Oleh karena itu, Iqbal menganjurkan agar anak didik diberi kebebasan mengekspresikan diri secara kreatif, melalui eksperimentasi dalam lingkungan. Dengan cara ini anak didik dapat meraih pengetahuan kongkrit, bermanfaat dalam praktek kehidupan sehari-hari, bukan teori-teori abstrak atau ide-ide yang tidak riel.[25]

Realitas sosial dan lembaga pendidikan, mesti selalu menjalin hubungan yang akrab. Sebagian besar proses belajar pada dasarnya berlangsung dalam lingkungan dan konteks sosial. Kehidupan anak didik dalam lingkungan yang senantiasa mengalami perubahan, di mana ia menjalin hubungan yang aktif dengan lingkungan tersebut, akan membawa perubahan-perubahan langsung pada kepribadiannya. Atas dasar ini, proses belajar dalam kelas haruslah senantiasa berkaitan dengan realitas sosial, lembaga pendidikan harus mampu merefleksikan phenomena yang riel dalam masyarakat untuk dijabarkan dalam program pembelajaran, karena pengetahuan yang terlepas dari aktivitas yang ada dalam dunia riel, menurut Iqbal, adalah pengetahuan yang tidak bermakna.[26]

Persoalannya kemudian adalah apakah semua materi pelajaran dapat dikaitkan dengan realitas sosial. Ilmu-ilmu empirik tentu saja tidak mengalami masalah, tapi bagaimana dengan ilmu-ilmu yang non-empirik seperti teologi. Hal ini dapat dijawab bahwa keterkaitan materi pelajaran dengan realitas sosial, tidaklah sepenuh bermaksud mencari jastifikasi pembenaran. Untuk ilmu empirik proses jastifikasi memang dapat dilakukan dengan membawa anak didik ke dalam dunia riel, melakukan eksperimen langsung melalui observasi. Sedangkan ilmu-ilmu non-empirik seperti teologi, pendekatan doktriner masih perlu dilakukan, tapi tidak berarti bahwa ilmu itu terlepas sama sekali dari dunia riel. Anak didik dapat saja diajak mengamati lingkungan (ayat kauniyah) untuk memperkuat doktrin teologis dari wahyu. Pada dasarnya doktrin teologi bukan sekedar untuk diketahui dan diyakini, tapi untuk dijabarkan dalam perilaku hidup sehari-hari. Aktivitas nyata merupakan tujuan riel dari setiap kehidupan beragama.[27] Di sinilah sebenarnya arti pentingnya inter-relasi antar berbagai subject-matter, antara ilmu-ilmu keagamaan dengan ilmu-ilmu umum, tentu saja dengan tetap berpegang pada epistemologinya masing-masing.

Sehubungan dengan persoalan di atas, salah satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengajaran adalah metodologi. Aksentuasi pada metodologi, menurut Sardar, jauh lebih penting untuk diterapkan dalam sistem pendidikan Islam di era modern ini, dari pada penguasaan materi semata. Kalau pada jaman dahulu anak dididik untuk menghafal hadis-hadis, menguasai tafsir-tafsir, maka di jaman modern saat ini hal itu tidak terlalu signifikan lagi. Anak didik mampu mengakses sekian ribu hadis lengkap dengan perawinya, mampu melakukan perbandingan penafsiran dari sekian mufassir besar, hanya dengan memencet tombol komputer, tinggal bagaimana mendidik dan mengajari mereka agar dapat menguasai teknologi komputer. Yang terpenting saat ini adalah mengembangkan kemampuan analisis, pemecahan masalah etik dan moral. Ringkasnya berpikir dengan paradigma Islami dalam mengkaji problem-problem aktual dalam masyarakat, bukan problem klasik yang tidak relevan lagi.[28]

Dengan demikian, apakah karya-karya para ulama klasik seperti Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Hanafi, tidak penting lagi dalam kajian Fiqh ; Kitab-kitab Tafsir seperti al-Qasimy, al-Tabari, Ibnu Kasir, harus diabaikan. Tentu saja tidak demikian. Hasil pemikiran ulama-ulama klasik tetap perlu dikaji, tapi tidak terbatas pada fatwah-fatwahnya, tapi yang terpenting bagaimana fatwah itu dikeluarkan, mengapa fatwah yang satu berbeda dengan fatwah yang lain. Maka dalam hal ini diperlukan berbagai pendekatan metodologis. Dengan pendekatan sosio-historis misalnya, dapat diketahui bahwa kondisi masyarakat antara ulama yang satu dengan yang lain berbeda, sehingga boleh jadi hal itu berpengaruh terhadap fatwah yang dikeluarkannya.

Aksentuasi pada metodologi seperti dicontohkan di atas akan mengembangkan kreativitas dan ketajaman analisis anak didik. Apalagi saat ini materi dapat diserap melalui berbagai sumber, baik melalui media elektronik maupun media cetak, yang tentu saja berbeda dengan zaman dulu ketika guru masih merupakan sumber satu-satunya. Salah satu penyebab munculnya pertikaian antar umat Islam, adalah perbedaan mazhab, dan hal ini karena setiap pengikut mazhab hanya mempelajari mazhabnya sendiri secara doktriner, mereka tidak mengerti latar belakang maupun metode berfikir Imam mazhabnya, apalagi Imam dari mazhab lain. Dengan penekanan pada aspek metodologi, kita dapat berharap umat Islam masa mendatang lebih terbuka menerima perbedaan pandangan, dan lebih toleran terhadap pandangan orang lain, bukan hanya antar sesama umat Islam tetapi juga dengan umat lain secara keseluruhan.

Dengan membekali anak didik dengan penguasaan metodologi, mereka akan dapat belajar sepanjang hidupnya, tidak kebingungan dalam menghadapi masalah-masalah sosial yang semakin kompleks, masalah-masalah yang tidak ditemukan jawabannya dari kitab-kitab ulama klasik. Mujtahid-mujtahid masa depan, hanya dapat dilahirkan jika sistem pendidikan Islam mampu membekali kemampuan metodologi yang mapan pada generasi muda muslim saat ini. Sebaliknya, jika hanya materi yang diperkuat dan mengabaikan metodologi, maka yang lahir adalah generasi taqlid yang kebingungan menghadapi masalah-masalah baru dalam masyarakat.

D. Penutup

Demikianlah, lembaga pendidikan Islam hendaknya lebih responsif terhadap situasi dan kondisi masyarakat, baik secara mikro dalam ruang lingkup sosio-kultural dan geografisnya masing-masing, maupun secara makro dalam kehidupan masyarakat global. Di samping itu, sistem pengajaran hendaknya lebih memprioritaskan penguasaan metodologi, sehingga yang diajarkan kepada anak didik adalah “how to do” dan bukannya “what to do”. Anak didik dibekali “kail” dan bukannya “ikan”, sehingga mereka dapat memiliki kemampuan beradaptasi dengan arus perubahan sosial yang kian cepat, tidak “kaget” dalam menghadapi berbagai persoalan baru yang timbul dalam kehidupan masyarakat.

Dengan cara demikian, para alumnus lembaga pendidikan Islam dapat ikut berpartisipasi secara aktif dalam berbagai lini kehidupan sosial kemasyarakatan, dan kita dapat berharap bahwa image masyarakat terhadap lembaga pendidikan Islam sebagai lembaga pendidikan “keakhiratan” sebagaimana yang terkesan selama ini, sedikit demi sedikit dapat dihilangkan.

DAFTAR PUTAKA

‘Abd. Allah, Abd. al-Rahman Salih, Educational Theory : A Qur’anic Outlook, Mekah: Umm al-Qura University, 1982

Abdullah, M. Amin, “Perspektif” Link and Match” Lembaga Pendidikan Tinggi Tenaga Kependidikan Islam : Rekonstruksi atas Tinjauan Metodologi Pembudayaan Nilai-Nilai Keagamaan” dalam Muslih Usa dan Aden Wijaya (ed.), Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, Yogyakarta: Aditya Media, 1997

______, “Studi-studi Islam : Sudut Pandang Filsafat” dalam Islamika, No. 5 1994, h. 67-75

______,“Problem Epistemologis-Metodologis Pendidikan Islam” dalam Abdul Munir Mulkhan, et.al. (Penyunting), Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren: Religiusitas Iptek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998

Ahmad, Khurshid, “Islam and The Problem of Educational Reconstruction” dalam al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies IAIN sunan Kalijaga Yogyakarta, No. 5 th. 1974, h. 1-12

Arkoun, Mohamad, al-Islam : al-Akhlaq wa al-Siyasah, terj. : Hashim Saleh Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qawmi, 1990

al-Attas, Syed Muhammad Naquib, (ed.), Aims and Objectives of Islamic Education, Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979

Ashraf, Ali, Horison Baru Pendidikan Islam, Sori Siregar (terj.), Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996

Azra, Azyumardi , “Rekonstruksi Kritis Ilmu dan Pendidikan Islam”, dalam Abdul Munir Mulkhan, et.al., (ed.), Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren: Religiusitas Iptek, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 1998

Husen, Torsten, The Learning Society, terj. : P. Surono Hargosenoyo dan Yusuf Hadi Miarso, Cet. I; Jakarta: Rajawali, 1988

Ibrahim, Idy Subandy dan Yudi Latief, “Media Massa dan Pemiskinan Imajinasi Sosial” dalam Idy Subandy Ibrahim dan Dedy Djamaluddin Malik (ed.), Hegemoni Budaya, Cet. I; Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1997

Ismail, Faisal, Paradigma Kebudayaan Islam : Studi Kritis dan Refleksi Historis, Cet. II; Yogyakarta : Titian Ilahi Press, 1998

Karim, M. Rusli, “Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transformasi Sosial Budaya” dalam Muslih Usa (ed.), Pendidikan Islam di Indonesia : Antara Cita dan Fakta, Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta, 1991

Nakosteen, Mehdi, History of Islamic Origin of Western Education A.D. 800-1350 : with an Introduction to Medieval Muslim Education, diterjemah ke dalam bahasa Indonesia oleh Joko S. Kahhar dan Supriyanto Abdullah dengan judul Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat : Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1996

Rahmat, Jalaluddin, “Generasi Muda di Tengah Arus Perkembangan Informasi”, dalam Idy Subandy Ibrahim dan Dedy Djamaluddin Malik (ed.), Hegemoni Budaya, Cet. I; Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1997

Sharif, M.M., Islamic and Educational Studies, Lahore: Institute of Islamic Culture, 1976

Suyata, Perbaikan Mutu Pendidikan Transformasi Sekolah dan Implikasi Kebijakan, (Pidato) disampaikan pada upacara Dies Natalis XXXIV IKIP Yogyakarta 23 Mei 1998

Thoha, Chobib, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1996

Tufail, Mian Muhammad, Iqbal’s Philosophy and Education, Lahore: Din Muhammadi Press, 1966



* Penulis adalah dosen STAIN Datokarama Palu DPK sebagai dosen PAI pada Universitas Tadulako Palu, Sulawesi Tengah

1Lihat: Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam : Studi Kritis dan Refleksi Historis, (Cet. II ; Yogyakarta : Titian Ilahi Press, 1998), h. 84-85.

2Khurshid Ahmad, “Islam and The Problem of Educational Reconstruction” dalam al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, No. 5 th. 1974, h. 1.

3M. Rusli Karim, “Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transformasi Sosial Budaya” dalam Muslih Usa (ed.), Pendidikan Islam di Indonesia : Antara Cita dan Fakta, (Cet. I ; Yogyakarta : Tiara Wacana Yogyakarta, 1991), h. 127.

4Lihat: Jalaluddin Rahmat, “Generasi Muda di Tengah Arus Perkembangan Informasi”, dalam Idy Subandy Ibrahim dan Dedy Djamaluddin Malik (ed.), Hegemoni Budaya, (Cet. I ; Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1997), h. 123-136.

5Lihat: Yudi Latief dan Idy Subandy Ibrahim “Media Massa dan Pemiskinan Imajinasi Sosial” dalam ibid., h. 143-144.

6Suyata, Perbaikan Mutu Pendidikan Transformasi Sekolah dan Implikasi Kebijakan, (Pidato) disampaikan pada upacara Dies Natalis XXXIV IKIP Yogyakarta 23 Mei 1998, h. 2.

7Torsten Husen, The Learning Society, terj. : P. Surono Hargosenoyo dan Yusuf Hadi Miarso, (Cet. I ; Jakarta: Rajawali, 1988), h. 5.

8Lihat: ibid., h. 26-29.

9Azyumardi Azra, “Rekonstruksi Kritis Ilmu dan Pendidikan Islam”, dalam Abdul Munir Mulkhan, et.al., (ed.), Religiusitas Iptek, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 1998), h. 88.

10Chobib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Cet. I ; Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 1996), h. 26.

11Lihat: M. Amin Abdullah, “Perspektif” Link and Match” Lembaga Pendidikan Tinggi Tenaga Kependidikan Islam : Rekonstruksi atas Tinjauan Metodologi Pembudayaan Nilai-Nilai Keagamaan” dalam Muslih Usa dan Aden Wijaya (ed.), Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, (Yogyakarta: Aditya Media, 1997), h. 201-202.

12Baca: M. Amin Abdullah, “Studi-studi Islam : Sudut Pandang Filsafat” dalam Islamika, No. 5 1994, h. 67-75.

13Lihat: M. Arkoun, al-Islam : al-Akhlaq wa al-Siyasah, terj. : Hashim Saleh (Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qawmi, 1990), h. 172-173.

14Pada dasarnya ketiga istilah ini memiliki makna yang sama yakni tujuan, hanya saja dalam penggunaan praktis, khususnya dalam dunia pendidikan, sering dibedakan. Lihat: Abd. al-Rahman Salih ‘Abd. Allah, Educational Theory : A Qur’anic Outlook, (Mekah: Umm al-Qura University, 1982), h. 114-115.

15Dikutip dalam Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, Sori Siregar (terj.), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), h. 107 ; Syed Muhammad Naquib al-Attas (ed.), Aims and Objectives of Islamic Education, (Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979), h. 158-159.

16Lihat: M.M. Sharif, Islamic and Educational Studies, (Lahore: Institute of Islamic Culture, 1976), h. 39-45.

17Ibid., h. 44. Penjelasan tentang bagaimana umat Islam berasimilasi dengan budaya lain, antara lain dapat dilihat dalam Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origin of Western Education A.D. 800-1350 : with an Introduction to Medieval Muslim Education, diterjemah ke dalam bahasa Indonesia oleh Joko S. Kahhar dan Supriyanto Abdullah dengan judul Kontribusi Islam atas Dunia ntelektual Barat : Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 207-254.

18Lihat misalnya: QS. al-An’am (6): 164 & 94 ; QS. Maryam (19): 80 & 95.

19Lihat: Mahmoud Mohamed Toha, op.cit., h. 62-63.

20Menurut Huntchins, jika kita hendak membicarakan pengembangan manusia dan masyarakat, kita mesti meyakini adanya perbedaan baik dan buruk. Nilai baik dan buruk dalam hal ini bukan yang bersumber dari tolak ukur positivistik, atau pragmatis. Baik dan buruk tak dapat ditemukan melalui penelitian laboratorium atau eksperimen. Robert Maynard Hutchins, op.cit., h. 151.

21M. Amin Abdullah, “Problem Epistemologis-Metodologis Pendidikan Islam” dalam Abdul Munir Mulkhan, et.al. (Penyunting), Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren : Religiusitas Iptek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 58.

22Lihat: Ziauddin Sardar, Islamic Futures …, op.cit., h. 314-317.

23Ibid., h. 315.

24Lihat: Azyumardi Azra, “Rekonstruksi Kritis Ilmu dan Pendidikan Islam” dalam Abdul Munir Mulkhan, et.al. (ed.), op.cit., h. 89-91.

25Lihat: Mian Muhammad Tufail, Iqbal’s Philosophy and Education, (Lahore: Din Muhammadi Press, 1966), h. 119-120.

26Lihat: ibid., h. 122-123.

27Ibid., h. 78.

28Lihat: Ziauddin Sardar, Islamic Futures …, op.cit., h. 314-315.

2 komentar: